Jakarta – Merosotnya harga ayam potong ras di kalangan peternak belakangan ini, bukan fenomena baru. Anjloknya harga ayam potong sejatinya sudah mulai dirasakan sejak September 2018. Fungsi Kementerian Pertanian (Kementan) pun dipertanyakan karena tidak memberi sinyal kepada Kementerian Koordinator Perekonomian terkait kondisi ini hingga berujung parah.
“Kondisi seperti ini mesti diselesaikan dengan perpres. Kemenko Perekonomian harusnya mendorong adanya perpres. Cuma selama ini kan nggak ada sinyal dari Kementan,” ujar Direktur Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), Yeka Hendra Fatika dalam keterangannya di Jakarta, seperti dikutip Senin, 8 Juli 2019.
Dirinya mengungkapkan, terus berfluktuatifnya harga ayam tidak bisa diselesaikan hanya dari hulu ataupun hilir. Untuk itu, solusi yang komprehensif diperlukan lewat kebijakan setara dengan peraturan presiden (perpres). Namun sebelum itu, dibutuhkan pula sinyal yang jelas dari pihak yang mengetahui kondisi di hulu, yang tak lain adalah Kementerian Pertanian.
Berdasarkan pengamatannya, kerap anjloknya harga ayam dikarenakan suplai yang berlebih dibandingkan kebutuhan. Kondisi oversuplai disebabkan peternak maupun pengusaha terus membuat kandang sehingga meningkatkan suplai hingga kondisinya kini mencapai 68-70 juta per minggu. Padahal, permintaan ayam di pasaran kurang lebih hanya 60 juta ekor per minggu.
Selain mengatur kandang ayam agar tidak terus meningkatkan suplai, Yeka menyatakan, konsumsi pun harus ditingkatkan. Soalnya, konsumsi ayam per kapita cenderung stagnan di angka 12 kilogram per tahun. Jauh di bawah negara-negara lain. Kondisi oversuplai inilah yang harus diserukan Kementan kepada Kemenko Perekonomian agar semua pihak bergerak.
Tujuan akhirnya, perpres yang komprehensif untuk menyelesaikan masalah harga ayam dapat terbit. “Diperlukan regulasi setingkat Peraturan Presiden dalam membenahi industri perunggasan,” tegasnya.
Menurutnya, pihak-pihak yang mesti terlibat dalam masalah oversuplai ayam ini, utamanya adalah Kementerian Pertanian yang mesti memberi sinyal masalah di hulu. Peran Kementerian Kesehatan pun dalam hal ini diharapkan dapat mempromosikan konsumsi ayam terkait masalah gizi. Selain itu, Kementerian Perdagangan maupun BKPM juga harus berperan.
Sebelumnya ia sempat menyatakan, masalah utama anjloknya harga ayam sampai sempat menyentuh Rp5.000 per kilogram bersumber dari oversuplai. “Adanya surat edaran tanggal 26 Juni 2019 untuk memotong DOC (day old chiken) artinya Kementan mengakui adanya kelebihan suplai itu,” ucapnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) Sugeng Wahyudi, menyebutkan, kelebihan bibit ayam potong (day old chiken/DOC) sudah terjadi sejak awal tahun. Di mana produksi DOC di Indonesia saat ini sebesar 68 juta per minggu, sementara kebutuhan DOC hanya 60 juta.
“Itu dari awal tahun memang sudah ada kelebihan DOC-nya dibanding dengan kebutuhan DOC-nya. DOC ini nanti dibesarkan menjadi ayam, otomatis ayamnya juga kelebihan,” katanya.
Produksi ayam yang berlebih itu pun dinilai menjadi penyebab tertekannya harga ayam sampai sempat menyentuh Rp5.000 per kilogram. Kondisi ini diperparah karena Kementerian Pertanian (Kementan) sempat salah memprediksi terkait dengan persediaan dan permintaan ayam. “Jadi, Kementan itu sebenarnya menginformasi jumlah sediaan anak ayam, tetapi tidak menghitung demand-nya,” keluhnya. (*)