Jakarta – Untuk memperkuat manajemen likuiditas perbankan sehubungan dengan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah sebesar 200 basis poin (bps) atau 2 persen, Bank Indonesia (BI) telah menetapkan kebijakan untuk menaikkan Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 200 bps untuk Bank Umum Konvensional dan sebesar 50 bps untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah yang mulai berlaku 1 Mei 2020.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, dengan kenaikan PLM tersebut, perbankan wajib memenuhi kebijakan tersebut melalui pembelian SUN/SBSN yang akan diterbitkan oleh Pemerintah di pasar perdana.
“Pada saat yang sama kami ingin perkuat manajemen likuiditas perbankan yaitu dengan wajibkan bank pegang SBN atau SUN dari Pemerintah yang lebih besar. Dengan jumlah kenaikan PLM 200 bps atau 2 persen maka nilai SBN bank akan naik 2 persen dari DPK masing masing,” jelas Perry melalui video conference di Jakarta, Jumat 17 April 2020.
Dengan mewajibkan pemilikan SBN di bank maka pendanaan Pemerintah masih terus tercukupi. Tak hanya itu, Perry juga memastikan likuiditas perbankan juga akan tercukupi. Nantinya perbankan dapat menggunakan SBN tersebut untuk melakukan repo di BI.
“Kalau butuh likuiditas datang ke BI, gunakan SBNnya untuk repo ke kami, maka kami akan perkuat likuiditas bank. Tentu saja bank juga lebih baik di manajemennya,” tambah Perry.
Sebelumnya, BI memang kembali menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah masing-masing sebesar 200 bps untuk Bank Umum Konvensional serta 50 bps untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah yang mulai berlaku 1 Mei 2020. Kebijakan ini diharapkan dapat menambah likuiditas perbankan hingga Rp102 triliun dan menambah pasokan likuiditas yang telah dilakukan bank sentral. (*)
Editor: Rezkiana Np