Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
SETELAH tercoreng sejumlah kasus gagal bayar produk saving plan, industri asuransi jiwa kini dilanda geger unit link. Di tengah ketidakpuasan ratusan nasabah unit link, sepanjang 2021 ada 800.000 nasabah baru yang membuat premi baru unit link, naik 16,30% per September 2021. Perlukah moratorium untuk memperbaiki penjualan unit link? Mengapa perusahaan asuransi membiarkan para agennya melakukan mis-selling? Mendesak adanya perbaikan di industri asuransi dan literasi keuangan masyarakat.
Unit Link membuat geger industri asuransi nasional. Ribuan nasabah asuransi jiwa merasa tertipu oleh produk unit link dan telah menutup polisnya. Bahkan, ada 350 nasabah unit link yang menuntut uang preminya dikembalikan, tanpa imbal hasil yang dijanjikan para agen pemasaran produk asuransi.
“Saya sendiri Juni 2020 tutup polis, lalu saya komplain-komplain tidak didengar, kami demo di depan tiga kantor asuransi, juga demo di depan kantor OJK. Lalu, kami secara kolektif mulai April 2021, membuat forum ini,” ujar Maria Trihartati, salah satu nasabah unit link, kepada Infobank pada 18 Desember 2021 lalu.
Maria bersama ratusan nasabah unit link Asuransi AIA, AXA Mandiri, dan Prudential Life Assurance membuat forum untuk menyuarakan tuntutannya hingga ke kantor kepolisian bahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain menuntut premi yang sudah disetorkan untuk dikembalikan, mereka meminta pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menghentikan penjualan produk unit link.
Beberapa anggota Komisi XI DPR RI yang telah menerima banyak aduan dari konsumen sector asuransi pun mengajukan moratorium atau penghentian sementara penjualan produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI). “Kita bisa melakukan moratorium, karena sudah ada pengalaman juga sebelumnya ada produk keuangan lain yang bermasalah dan bisa kita hentikan penjualannya,” kata Vera Febyanthy, Anggota Komisi XI DPR RI, ketika Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan korban unit link dan OJK, 6 Desember 2021 lalu.
Namun, Fathan Subchi, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, mengatakan bahwa apa pun Langkah dan keputusan yang dibuat OJK harus melalui kajian secara komprehensif karena banyak stakeholders yang semuanya memiliki kepentingan.
“Kalau dilakukan moratorium harus dikaji dulu dampaknya. Yang terpenting saat ini adalah harus ada perbaikan, mulai dari business process, struktur biaya, dan cara jualan unit link. OJK juga jangan hanya mendorong industri asuransi untuk tumbuh sehingga perusahaan asuransi menghalalkan segala cara dalam membuat produk dan bagaimana agar produknya terjual. OJK bersama industri harus mendidik masyarakat,” ujarnya kepada Infobank, Desember lalu.
Saat ini OJK bersama industri sedang membuat kajian untuk merespons berbagai masalah yang timbul dan usulan yang disampaikan masyarakat, termasuk terkait moratorium produk unit link. “Kalau salah mengambil keputusan dikhawatirkan terjadi guncangan di industri. Jadi, saat ini kami bersama asosiasi sedang membuat kajian secara komprehensif, termasuk perbaikan peraturan produk unit link,” ujar M. Ihsanuddin, Deputi Komisioner OJK, kepada Infobank, bulan lalu. Selain produk unit link, OJK akan merevisi aturan terkait dengan kegiatan pialang asuransi dan insurance technology.
Sebagian perusahaan asuransi jiwa pastinya akan kelabakan jika regulator menghentikan produk unit link. Sebab, produk unit link menjadi mesin pendorong pertumbuhan premi asuransi jiwa selama 15 tahun terakhir. Lebih dari separuh brankas premi asuransi jiwa berasal dari produk unit link yang dijual 31 perusahaan asuransi jiwa. Menurut data Biro Riset Infobank (birI), unit link menyumbang 68,48% terhadap pendapatan premi bruto asuransi jiwa yang sebesar Rp136,26 triliun per September 2021. Porsi unit link tersebut meningkat dari 2019 dan 2020 yang masing-masing 48,02% dan 49,33%.
*) Simak laporan selengkapnya mengenai “Gonjang-Ganjing Unit link” di Majalah Infobank No. 525, edisi Januari 2022.