Penulis sampaikan sekali lagi, tujuannya tidak lain agar anggota komisaris benar-benar mampu mencurahkan segenap tenaga, pikiran, dan/atau perhatian mereka secara penuh pada tugas, kewajiban, dan pencapaian tujuan korporasi yang mereka awasi. Kendati demikian, “anomali” selalu terjadi di belahan bumi ini. Bukan hanya pada air, “anomali” itu terjadi juga di segala aspek kehidupan, termasuk dunia binsis.
Pada saat spirit untuk memastikan pemberdayaan peran dekom gencar dilakukan dengan cara mamastikan ketersediaan waktu yang cukup serta fokus ketika melaksanakan semua tugasnya melalui kebijakan pembatasan jabatan rangkap para dekom, OJK, belum lama ini, pada 8 Desember 2014 telah melahirkan peraturan pembatasan yang begitu longgar. Anggota dekom dari emiten/perusahaan publik dapat merangkap jabatan sebagai anggota direksi pada dua emiten atau perusahaan publik lain dan anggota dekom pada dua emiten atau perusahaan publik lain. Kendati, masih “dibantali” dengan satu “ayat” yang menyatakan bahwa dalam hal terdapat peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur ketentuan mengenai rangkap jabatan yang berbeda dengan ketentuan dalam peraturan OJK ini, maka berlaku ketentuan yang mengatur lebih ketat.
Mengingat OJK merupakan lembaga terkemuka dan tepercaya di Indonesia, bukan tidak mungkin otoritas lainnya akan menjadikan peratuan OJK ini sebagai benchmark pada kemudian hari. Dengan demikian, singkat kata, pertanyaan yang mengemuka ialah benarkah kelonggaran peraturan OJK ini merupakan sebuah langkah yang sudah menjadi keniscayaan dalam rangka meniti masa depan Indonesia yang lebih baik? Vice versa, apakah justru kontraproduktif? Jawaban penulis cenderung menghasilkan outcome yang terakhir. Kendati demikian, sang waktulah yang akan menjawabnya. Semoga tidak terjadi.
Penulis adalah governance, risk, and compliance (GRC) specialist.