Bandung — Kondisi inflasi pangan dan agrobisnis di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Di saat bersamaan jumlah penduduk terus bertambah. Perlu dicarikan solusi terbaik.
Hal itu diungkapkan oleh Guru Besar IPB, Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, M.Si dalam Media Gathering Perbanas: “Memperkuat ketahanan Domestik di Tengah Perlambatan Ekonomi Global” di Mason Pine Hotel, Bandung Barat, Kamis, 23 November 2023.
“Pangan kita sedang tidak baik-baik saja. Sepertiga penduduk dunia dalam keadaan kondisi lapar saat tidur. 200 juta rawan pangan. Lebih dari 60 persen rantai pasok pangan kolaps kena Covid dan belum pulih,” kata Bayu.
Keadaan makin pelik dan kompleks, kata dia, karena pada saat bersamaan jumlah penduduk Indonesia dan dunia terus bertambah.
Baca juga: Setiap Tahun 1,3 Miliar Ton Makanan Terbuang Sia-Sia, Nilainya Tembus Ratusan Triliun
“Ada satu miliar mulut tambahan yang harus diberi makan. Untuk itulah persoalan pangan menjadi sangat sensitif. Apalagi sepertiga dari pangan kita terbuang, food wasted atau food lost,” katanya.
Persoalan pangan akan menemui titik kritis saat food systems Indonesia makin hari makin kompleks. “Tidak bisa diselesaikan dengan melakukan tambahan dana belaka. Ketersediaan lahan tanah pertanian di Indonesia sangat kecil sekali jika di banding jumlah penduduknya. Kecuali bongkar hutan besar-besaran, yang mana itu tidak mungkin kita lakukan,” katanya.
Selama tahun 2022, kata Bayu, produk pertanian Indonesia sudah turun sampai 600.000 ton. Hal ini terjadi karena di antaranya tidak ada kepastian pasokan dan harga pupuk. Ketidakpastian harga komoditi, yang berkecenderungan turun, dan berapa alasan fundamental lainnya.
“Artinya kita sedang tidak baik-baik saja. Way out-nya perlu investasi lebih besar pada pertanian. Sebab menurut saya, no farmers no food no future. Kita butuh petani. Petani perlu sejahtera, dan disejahterakan agar generasi muda mau menjadi petani,” katanya.
Apalagi, secara teologis, menurutnya Bayu, Allah SWT menciptakan padi tidak hanya menghasilkan gabah dan beras saja. Ada batang padi, minyak beras, mina padi, dan lainnya yang bisa memberikan nilai tambah.
“Yang semuanya bisa disulap menjadi uang,” katanya.
Karena itu, dia berharap income petani harus ada nilai tambahnya. Petani harus dididik menciptakan branding dan melakukan diversifikasi usaha demi menunjang hajat hidupnya.
“Seperti misalnya melakukan produk khas seperti produk padi bernama Volcanic Javanise Rice, yang saat dijual di Jerman, harganya bisa sampai 10 kali lipat, dari harga padi konvensional,” katanya.
Bayu juga memberikan pemahaman kepada masyarakat luas, jika sumber daya alam Indonesia hanya masalah waktu akan habis dan terbatas.
“Indonesia bukan lagi negara agraris. Itu 50 tahun lalu. Harus ada cara baru menciptakan pasokan pangan baru, dengan menemukan produk pertanian baru,” ujarnya.
Karena itu, persepsi masyarakat Indonesia harus diubah, dengan menyadari jika Indonesia bukan lagi negara agraris yang subur dan makmur, seperti lirik lagu Koes Plus.
Baca juga: Sejumlah Negara Terapkan Larangan Ekspor Pangan, Ini Dampaknya ke RI
“Sumber daya alam kita harus dijaga. Food estate konsepnya tidak salah. Sawit buktinya berhasil, tapi pada tanamam pangan lain perlakuannya harus berbeda, seperti tenaga kerjanya siapa?,” katanya.
Di Jepang, kata dia, untuk mendorong sektor pertanian, ada insentif dari negara sebesar 150 juta rupiah yang akan diberikan kepada anak muda yang mau jadi petani.
“Daripada subsidi pupuk hingga Rp30 triliun, yang malah membuat jasad renik jadi mati, yang malah membuat tanah tidak subur lagi. Harusnya bikin start-up terkait pertanian, bukan hanya jualan produk pertanian,” pungkasnya. (*) DW