GARUDA Indonesia sedang di bibir jurang kebangkrutan. Terakhir, Garuda menyatakan default pembayaran sukuk global senilai US$500 juta. Dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR pada 21 Juni lalu, manajemen Garuda melaporkan kerugian US$2,50 miliar atau setara Rp35,75 triliun (kurs Rp14.300/US$) pada 2020. Pada 2019, Garuda masih mencatat laba bersih US$6,99 juta.
Nasib Garuda tergantung kepada kemampuan melakukan restrukturisasi utang yang melonjak dari Rp20 triliun menjadi Rp70 triliun dan menekan biaya untuk menghentikan kerugian. Sebab, seperti dikatakan Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo bahwa Garuda menanggung beban per bulan US$150 juta sementara pendapatan hanya US$50 juta per bulan. Artinya, setiap bulan merugi US$100 juta setara Rp1,43 triliun.
Kondisi Garuda saat ini mengingatkan kondisi perusahaan pelat merah ini pada 1998. Waktu itu kondisinya lebih parah. Image-nya buruk dan utangnya menggunung karena sudah merugi selama enam tahun berturut-turut sejak 1991 ditambah kurs US$ yang meroket dari Rp2.300 menjadi di atas Rp15.000. Kalau dihitung nilai Garuda hanya US$1 sehingga tidak mungkin mencari investor. Maka pilihannya hanya dua,likuidasi atau restrukturisasi.
Kemudian, Presiden Soeharto melalui Tanri Abeng sebagai Menteri BUMN meminta Robby Djohan, seorang bankir kawakan untuk membereskan Garuda. Robby pun melakukan restrukturisasi utang dan mengurangi biaya melalui program rasionalisasi.
Dalam menghadapi kreditor untuk menegosiasi penjadwalan utang, Robby Djohan memaparkan dalam bukunya yang berjudul No Nonsense Leadership. Ketika dia ke Eropa dan berbicara dengan Exim Bank Inggris, Perancis, dan Jerman, Robby pun harus berhadapan dengan gaya para bankir pada umumnya suka melakukan intimidasi jika menghadapi debitor yang kreditnya macet. Mereka berbicara dengan suara yang keras dengan ancaman bahwa kalau Garuda tidak membayar, pesawat A330 akan diambil kembali. Dan apabila masih ada tersisa utang Garuda akan dituntut secara hukum di pengadilan London atau luar negeri.
Robby menjawab dengan tenang, bahkan mempecundangi kreditor, “I am here not to solve my problem but to solve your problem. The main reason why Garida collapse is because the international banks were giving credit to Garuda to finance deficits cash flow. From my 30 years exeperience in banks, I can not understand this. And if you want to take your plan back, please do it as they are unproductive to us.”
Robby menegaskan, pesawat Airbuss A330 disewa terlalu mahal, kurang lebih US$1,2 juta perbulan dan hasil yang diperoleh dari pesawat tersebut hanya US$800. Robby menyampaikan usulan, “I will pay you back the principle in 16 years and interest 1% over SIBOR.” Berarti 1% di atas SIBOR pada waktu itu sekitar 2% sedangkan bunga US$ di Indonesia adalah 10%. Secara net present value ini cukup menguntungkan Garuda.
Keberhasilan restrukturisasi terlihat dalam dua bulan di mana Garuda mencatat laba meskipun hanya US$1 juta. Tapi tadinya defisit sekitar US$158 juta. Program rasionalisasi karyawan berjalan baik dimana lebih dari separoh dan disambut baik oleh karyawan. Maka dalam enam bulan hasilnya lebih nampak lagi. Utang pun tinggal US$400 juta. Berkat jaringan Robby yang di dunia perbankan dan bisnis internasional, Garuda mendapatkan kondisi-kondisi yang meringankan, seperti roll over ke tempo yang lebih panjang.
Lalu bagaimana Kementerian BUMN dan manajemen mengatasi masalah Garuda saat ini? Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan bahwa Kementerian BUMN menyiapkan empat opsi upaya penyelamatan Garuda. Pertama, pemerintah terus mendukung kinerja Garuda melalui pinjaman ekuitas. Kedua, menggunakan legal bankruptcy untuk merestrukturisasi kewajiban Garuda. Opsi ini masih mempertimbangkan undang-undang (UU) kepailitan. Ketiga, Garuda dibiarkan melakukan restrukturisasi dan dalam waktu bersamaan mendirikan maskapai penerbangan baru yang akan mengambil alih sebagian besar rute domestik Garuda. Keempat, Garuda dilikuidasi dan mendorong sektor swasta untuk meningkatkan layanan udara.
Sementara, Direktur Utama Garuda, Irfan Setiaputra, mengatakan, opsi penyelamatan Garuda menjadi keputusan atau langkah strategis pemegang saham. Agar Garuda tetap bisa terbang, manajemen melakukan sejumlah langkah strategis, seperti optimalisasi lini bisnis seperti cargo dan charter, pengelolaan struktur biaya, beban operasi, baik melalui optimalisasi maupun produktivitas pesawat, melakukan negosiasi ulang dengan lessor, pengelolaan sumber daya manusia, serta restrukturisasi rute penerbangan sejalan dengan tren permintaan yang ada. (Karnoto Mohamad)