Jakarta – Belakangan, Jaksa Agung Republik Indonesia mewacanakan hukuman mati terhadap koruptor Jiwasraya maupun Asabri. Opsi itu disampaikan mantan Kajati Maluku Utara itu dalam briefing kepada Kajati, Wakajati, para Kajari dan Kacabjari dalam rangka kunjungan kerja di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, Kamis 28 Oktober 2021.
Muncul dugaan wacana hukuman ini digaungkan untuk menutupi dugaan skandal informasi ijazah hingga identitas ganda yang kini hangat diperbincangkan masyarakat. Pengamat yang juga mantan politisi Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean pun angkat bicara. Ferdinand mengaku sudah lama mendengar isu dugaan identitas ganda Jaksa Agung ST Burhanuddin tersebut.
“Ini kan memang isu yang sudah muncul beberapa lama ya, saya pun sudah mendengarnya beberapa kali dan banyak juga yang bertanya-tanya ke saya terkait ini (identitas ganda). Bahkan gelar-gelar akademik yang beliau peroleh saat ini menjadi pertanyaan,” kata Ferdinand dalam keterangannya, di Jakarta.
Atas kondisi tersebut, ia pun menyarankan agar Jaksa Agung menjelaskan secara terbuka kepada publik terkait dugaan identitas ganda hingga latar belakang akademiknya.
“Kalau apa yang menjadi isu selama ini terbukti, saya pikir Jaksa Agung yang harus dengan legowo mengundurkan diri atau diganti oleh Presiden. Karena ada ketidakjujuran di sana. Kalau sudah tidak ada kejujuran memang harusnya beliau diganti. Mengundurkan diri itu lebih baik disertai permintaan maaf ke publik secara terbuka,” ujarnya.
Selain itu, ia mendesak masyarakat yang memiliki data akurat terkait hal tersebut untuk segera melaporkan Jaksa Agung ke pihak Polri. “Karena untuk melakukan penyelidikan, ya polisi harus memiliki dasar hukum yang jelas juga. Misalnya ada laporan kepada polisi bahwa telah terjadi pemalsuan identitas, pemalsuan data, pemalsuan gelar-gelar dan lain sebagainya,” jelas Ferdinand.
Terkait dengan wacana Jaksa Agung untuk menuntut hukuman mati bagi koruptor kasus Jiwasraya dan Asabri, pengamat kejaksaan Fajar Trio sebenarnya setuju dengan ide tersebut. Namun, kata dia, harus diimbangi dengan kualitas dan profesionalitas serta integritas penegakan hukum yang dilakukan kejaksaan.
“Jika kondisi penegakan hukum masih banyak transaksional, ya gak adil rasanya ada hukuman mati. Cina saja yang sudah menerapkan hukuman mati, koruptornya masih banyak berkeliaran. Artinya peghukuman mati untuk koruptor belum efektif,” kata Fajar.
Ia pun menantang Jaksa Agung untuk mencoba menghukum mati anak buahnya yang terlibat kasus korupsi. “Semisal Pinangki, yang jelas-jelas merusak marwah kejaksaan. Berani gak? Atau bisa saja para penyidik yang ternyata setelah dilakukan eksaminasi terbukti melakukan kesalahan atau penyalahgunaan kewenangan, harus diseret ke meja hijau,” tutupnya. (*)