Oleh: Wilson Arafat (GRC & ESG Specialist)
DI ERA disrupsi iklim, tekanan sosial, dan sorotan tajam terhadap tata kelola perusahaan, prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) tidak lagi dapat dipandang sebagai pelengkap. ESG telah menjelma menjadi kunci eksistensi dan diferensiasi bisnis di tengah ketidakpastian global. Perusahaan yang gagal beradaptasi dengan tuntutan keberlanjutan berisiko kehilangan kepercayaan publik, menghadapi tekanan regulasi, serta tertinggal dari arus inovasi dan preferensi konsumen yang makin sadar lingkungan dan etika.
Mengapa ESG Penting?
Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran global akan isu keberlanjutan, ESG kini bukan lagi sekadar tren atau kewajiban belaka, melainkan sebuah keniscayaan yang harus diterapkan dalam setiap aspek dan strategi bisnis. Mengintegrasikan prinsip ESG dalam pengambilan keputusan perusahaan tidak hanya berkaitan dengan pemenuhan regulasi atau menghindari risiko reputasi, tetapi lebih jauh lagi, tentang menciptakan dampak positif yang berkelanjutan bagi segenap masyarakat, lingkungan, dan tentunya bagi perusahaan itu sendiri.
Perusahaan yang gagal mengelola risiko ESG menghadapi konsekuensi merugikan, mulai dari kerugian finansial hingga kerusakan reputasi yang sulit dipulihkan. Sebaliknya, perusahaan yang berhasil mengintegrasikan prinsip ESG dalam strategi bisnis mereka cenderung memperoleh kepercayaan lebih dari investor, pelanggan, dan pemangku kepentingan. Mereka juga bisa meraih keuntungan berkelanjutan melalui efisiensi operasional, inovasi yang bertanggung jawab, serta penguatan citra positif di mata publik dan investor.
Baca juga: OJK Beberkan Tantangan Penerapan ESG di Sektor Jasa Keuangan
Salah satu contoh nyata dapat ditemukan pada perusahaan yang berhasil memperoleh pengakuan dari lembaga pemeringkat ESG internasional, dengan raihan peringkat tinggi berkat integrasi prinsip keberlanjutan yang menyeluruh dalam model bisnis mereka. Dalam laporan keberlanjutannya, perusahaan tersebut menunjukkan komitmen kuat terhadap aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola, yang tercermin dalam setiap lini operasional.
Upaya ini tidak hanya membantu memitigasi risiko ESG, tetapi juga menciptakan nilai tambah, mulai dari pelanggan, investor, hingga mitra strategis. Keberhasilan ini turut memperkuat reputasi perusahaan, serta membangun loyalitas dari konsumen yang semakin sadar akan pentingnya praktik bisnis yang berkelanjutan.
Mengintegrasikan ESG
Mengintegrasikan ESG ke dalam pengambilan keputusan bukan hanya langkah preventif, tetapi juga kunci penciptaan nilai jangka panjang bagi perusahaan. Prinsip ESG perlu tertanam dalam budaya organisasi dan menjadi bagian dari cara berpikir serta bertindak sehari-hari. ESG bukanlah jargon semata, melainkan fondasi perusahaan yang berkelanjutan secara holistik.
Namun demikian, menurut laporan Deloitte (2021), banyak perusahaan masih terjebak dalam pendekatan ESG yang superfisial. Mereka tampak aktif secara permukaan, tetapi gagal melakukan transformasi mendalam. Masalahnya terletak pada prioritas yang lemah, visi yang kabur, kurangnya kepemilikan internal, serta belum terintegrasinya ESG dalam struktur dan budaya perusahaan. Oleh karena itu, agar tidak terjebak dalam pendekatan ESG yang artifisial, suatu perusahaan perlu untuk mengambil langkah strategis dan terstruktur, sebagai berikut:
- Menjadikan ESG sebagai strategi inti: Setiap kebijakan, investasi, hingga pengembangan produk perlu menyertakan pertimbangan ESG secara eksplisit. Penetapan kebijakan ESG formal, dengan target waktu dan indikator kinerja yang terukur, menjadi landasan untuk implementasi yang konsisten.
- Membangun sistem data ESG yang andal dan terintegrasi: Fragmentasi data ESG di berbagai unit dan mitra bisnis sering menjadi hambatan. Sistem yang terintegrasi memungkinkan pengambilan keputusan berbasis data dan pelaporan yang transparan.
- Menerapkan ESG dalam rantai pasok dan kemitraan bisnis: Setiap mitra usaha perlu memenuhi standar keberlanjutan yang sejalan. Ini mencakup keberagaman, inklusi sosial, tanggung jawab lingkungan, dan praktik bisnis etis.
- Mengembangkan budaya transparansi dan komunikasi otentik: Kepercayaan publik dapat dibangun melalui komunikasi ESG yang jujur dan konsisten. Pelaporan menggunakan standar internasional seperti Global Reporting Initiative (GRI) dan Sustainability Accounting Standards Board (SASB) memperkuat kredibilitas perusahaan.
- Melakukan transformasi menyeluruh dari hulu ke hilir: ESG tidak boleh berhenti sebatas dokumen strategi. ESG harus menjadi dasar operasional sehari-hari. Setiap unit kerja harus memiliki KPI ESG yang relevan, mulai dari efisiensi energi, emisi karbon, hingga inklusi sosial.
Baca juga: Riset OJK: ESG Hanya Sekadar Reputasi, Bukan Pendulang Profit Perusahaan
ESG sebagai DNA Perusahaan
Mengintegrasikan ESG ke dalam model bisnis yang telah mapan memang menantang. Namun, justru di balik tantangan tersebut tersimpan peluang besar untuk berinovasi, menyesuaikan diri dengan dinamika global, dan membangun keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Perusahaan yang mampu membaca arah perubahan dan meresponsnya dengan strategi ESG yang menyeluruh akan tampil lebih adaptif dan tangguh menghadapi ketidakpastian.
Transformasi dari hulu ke hilir bukan lagi pilihan, melainkan keharusan, dari efisiensi energi dan pemilihan bahan baku ramah lingkungan, hingga penciptaan nilai sosial yang berdampak bagi komunitas. Setiap fungsi dalam organisasi, dari manajemen puncak hingga lini operasional, perlu mengadopsi indikator ESG yang relevan dan terukur, agar keberlanjutan tidak berhenti sebagai jargon, tetapi menjelma menjadi aksi nyata.
Kini saatnya menjadikan ESG bukan sekadar lampiran strategi, tetapi sebagai DNA perusahaan itu sendiri. Sebuah fondasi berpikir dan bertindak dalam setiap keputusan. Karena masa depan bisnis bukan hanya tentang bertahan, tetapi memberi kontribusi positif bagi dunia yang terus berubah. Saatnya merajut keberlanjutan, now or never. (*)