Jakarta – Industri asuransi jiwa menghadapi tekanan besar untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Tantangan global seperti perubahan iklim, pengelolaan limbah, dan ekspektasi tinggi terhadap tanggung jawab sosial kini menjadi isu utama yang harus diatasi.
Dalam konteks ini, integrasi prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dengan teknologi digital muncul sebagai solusi komprehensif yang tidak hanya menjawab tantangan tersebut, tetapi juga membuka peluang besar untuk transformasi industri.
ESG Manager CarbonEthics, Orin Axel Setyadi, menekankan bahwa ESG dan digitalisasi adalah dua elemen yang tidak terpisahkan. Dia menyatakan, ESG mencakup tiga pilar utama, yakni lingkungan, sosial, dan tata kelola. Ketiga pilar ini saling terkait dan tidak dapat berdiri sendiri.
“Implementasi ESG yang hanya fokus pada lingkungan, misalnya, tidak akan menghasilkan dampak maksimal tanpa dukungan tata kelola yang baik dan tanggung jawab sosial yang kuat,” ujarnya dalam acara Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Marketing & Communication Summit 2024 di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Di bidang lingkungan, Orin menyoroti masalah global seperti kenaikan suhu akibat emisi gas rumah kaca (GHG), kekeringan yang berkepanjangan, dan kenaikan permukaan laut akibat pencairan es di kutub. Ia menyebut bahwa enam dari sembilan planetary boundaries, batas aman untuk mempertahankan keseimbangan planet—telah terlampaui.
“Jika kita tidak menjaga tiga batas yang tersisa, dampak yang tidak dapat dipulihkan akan terjadi,” ungkap Orin.
Baca juga: Program Loyalty Digital Dinilai jadi Kunci Industri Asuransi Tumbuh Berkelanjutan
Selain itu, melalui proyek mangrove yang dilakukan CarbonEthics, dampak positif terhadap lingkungan dapat terlihat, sekaligus memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. Dalam lima tahun terakhir, proyek ini berhasil meningkatkan pendapatan warga lokal hingga 2,5 kali lipat dibandingkan sebelum adanya intervensi.
Sementara itu, dari sisi sosial, kesejahteraan karyawan, keterlibatan komunitas, dan promosi keberagaman menjadi elemen penting yang harus diperhatikan. Tata kelola yang baik, di sisi lain, mendorong praktik anti-korupsi, kepatuhan terhadap regulasi, dan inklusi yang lebih luas dalam pengambilan keputusan di perusahaan.
Digitalisasi menjadi katalis utama yang memungkinkan ESG diimplementasikan lebih efektif dalam industri asuransi jiwa. Meski masih berada di tahap awal dibandingkan sektor keuangan lainnya, potensi digitalisasi di industri ini sangat besar.
Beberapa perusahaan asuransi seperti Allianz dan AIA telah menunjukkan langkah progresif dalam mengintegrasikan teknologi digital dengan ESG. Allianz, misalnya, telah menetapkan target pengurangan emisi operasional sebesar 46,2 persen pada tahun 2030.
Di sisi lain, AIA memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan aksesibilitas dan efisiensi melalui aplikasi seperti Tanya ANYA, yang memberikan informasi langsung kepada pelanggan mengenai perlindungan asuransi mereka.
Integrasi teknologi digital juga membuka peluang baru, seperti pengembangan dashboard ESG. Dashboard ini memungkinkan perusahaan asuransi memvisualisasikan kinerja keberlanjutan secara real-time dan membantu mengambil keputusan strategis berdasarkan data.
“Dashboard ESG adalah alat penting untuk memantau dan melaporkan metrik keberlanjutan, memastikan perusahaan dapat menjaga transparansi dan akuntabilitas,” kata Orin.
Selain meningkatkan efisiensi operasional, digitalisasi memberikan manfaat langsung bagi pelanggan. Misalnya, mempermudah pelanggan mengakses informasi dan meningkatkan proses penjualan.
Inovasi ini tidak hanya memberikan nilai tambah bagi pelanggan tetapi juga membantu perusahaan memenuhi ekspektasi pasar yang semakin tinggi terhadap layanan yang cepat dan berbasis teknologi.
Perjalanan menuju transformasi ini membutuhkan langkah-langkah strategis yang terstruktur. Orin menjelaskan bahwa pengelolaan karbon atau carbon accounting menjadi langkah awal yang krusial.
Proses ini melibatkan pengukuran emisi karbon, penetapan target keberlanjutan, dan penerapan langkah-langkah untuk mengurangi emisi. Dalam kasus di mana pengurangan emisi tidak dapat dilakukan, langkah terakhir adalah mengimbangi emisi melalui proyek offset karbon seperti penanaman mangrove.
Baca juga: Kenaikan PPN 12 Persen Bikin Pendapatan Industri Asuransi Umum Tergerus
Pentingnya transparansi juga ditekankan oleh Orin. Perusahaan asuransi perlu melaporkan kemajuan mereka melalui laporan keberlanjutan seperti POJK 51/2017. Hal ini tidak hanya memenuhi regulasi tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap komitmen perusahaan dalam mendukung keberlanjutan.
Contoh lain yang relevan adalah langkah Astra Life yang menerapkan strategi keberlanjutan berbasis tiga pilar, yakni portofolio, karyawan, dan kontribusi publik. Perusahaan ini menetapkan target ambisius, termasuk pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 30 persen pada 2030 dan penggunaan energi terbarukan untuk 50 persen kegiatan operasionalnya.
Melalui kombinasi ESG dan digitalisasi, industri asuransi jiwa memiliki peluang besar untuk memimpin transformasi global. Orin menegaskan bahwa pendekatan ini tidak hanya memberikan manfaat lingkungan tetapi juga memperkuat posisi kompetitif perusahaan di pasar.
“ESG dan digitalisasi adalah masa depan. Industri asuransi memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin dalam keberlanjutan sambil tetap relevan di era teknologi,” pungkasnya. (*) Alfi Salima Puteri