Belitung – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa ekspor komoditas minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) mengalami penurunan sebesar 39,22 persen secara tahunan (year on year/yoy) di Juli 2024 dan turun 36,37 persen secara bulanan (month to month/mtm).
Penurunan ekspor CPO itu juga terjadi pada total volume ekspor CPO dan turunannya pada periode yang sama, yakni hanya mencapai 1,67 juta ton atau berkurang 2,67 juta ton secara bulanan.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Asosiasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, mengatakan penurunan ekspor tersebut disebabkan oleh harga minyak CPO dalam negeri yang relatif lebih mahal dibandingkan minyak nabati lainnya, seperti minyak biji matahari.
Baca juga: Pendapatan Emiten Sawit Austindo Turun 6,1 Persen di Semester I 2024, Ini Penyebabnya
“Minyak sawit sekarang lebih mahal, sehingga mereka (China) melakukan pembelian banyak ke minyak matahari dan mengurangi minyak sawit,” ucap Eddy dalam Diskusi Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian di Belitung, 27 Agustus 2024.
Sehingga, menurutnya pemerintah dalam hal ini perlu melakukan fleksibilitas kebijakan fiskal sebagai upaya untuk mendukung harga minyak sawit agar lebih kompetitif di pasar.
Pangsa pasar minyak sawit saat ini hanya berkisar sekitar 33 persen dan sisanya sekitar 67 persen bersumber dari minyak nabati lainnya, seperti minyak biji bunga matahari.
Baca juga: Hingga Mei 2024, Industri Sawit Sumbang Devisa Negara USD9,78 Miliar
“Jadi memang di sini perlu kebijakan pemerintah paling tidak ada permainan instrumen fiskal, saat harga sawit kita tidak kompetitif kita turunkan saat kompetitif bisa naik kembali,” imbuhnya.
Adapun, penurunan ekspor CPO tersebut juga terjadi di beberapa negara tujuan lainnya. Seperti ke India yang turun 59,31 persen mom dan 67,50 persen yoy.
Kemudian, ekspor ke China juga merosot 49,56 persen mom dan 30,04 persen yoy. Pun demikian dengan Paskitan, ekspor CPO ke negara ini juga turun 17,78 persen mom dan 18,62 persen yoy. (*)
Editor: Galih Pratama