Jakarta – Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester-I 2025 mencapai 5,12 persen. Angka tersebut menuai tanda tanya dari berbagai pihak, karena kenyataan di lapangan dinilai berbeda dengan perhitungan BPS.
Tetapi, Piter Abdullah, Policy and Program Director Prasasti for Policy Studies (Prasasti), menyebut kalau angka tersebut seharusnya disyukuri. Ia menilai, perhitungan BPS sudah sesuai dengan fenomena yang ada.
Misalnya, Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia yang fluktuatif, dinilai tidak mendorong sektor manufaktur yang menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi. Tapi, Piter berujar, kalau PMI Indonesia yang naik-turun di triwulan-II 2025, masih ditopang oleh PMI di kuartal-I 2025 yang bagus.
“Kalau kita mundur ke belakang, PMI di triwulan-I itu masih relatif tinggi. Jadi, kalau kemudian pertumbuhan ekonomi di triwulan ini bagus, berarti masih sejalan dengan PMI di triwulan-I,” kata Piter pada Selasa, 12 Agustus 2025.
Baca juga: Ekonomi Digital RI Diproyeksi Sumbang 5 Persen PDB pada 2030
Pada Juli 2025, angkanya sudah menyentuh 49,1 persen dari yang sebelumnya 46,9 persen per Juni 2025. Sementara, pada Maret 2025, PMI Indonesia bahkan sempat menyentuh 52,4 persen.
Pengangguran dan Sektor Digital
Indikator lain adalah meningkatnya pengangguran, yang per Februari 2025, menyentuh 7,28 juta orang, meningkat 1,11 persen dari Februari 2024. Meskipun tingkat pengangguran terbuka (TPT) justru mencatat penurunan tipis dari 4,82 persen menjadi 4,76 persen.
Namun, Piter menganggap, masyarakat kerap bergerak mencari pekerjaan dan tidak serta-merta bertahan sebagai pengangguran. Ia menambahkan, banyak dari mereka yang terserap ke dalam sektor ekonomi digital, seperti menjadi sopir ojek online.
“Mereka bisa masuk ke dalam pekerja sektor digital. Artinya apa? Artinya, itu membantu mereka tetap bisa mendapatkan penghasilan, dan membantu mereka untuk tetap berkonsumsi,” terang Piter.
Baca juga: Ekonomi RI Kuartal II 2025 Masih Ditopang Konsumsi Rumah Tangga
BPS juga menerangkan, konsumsi masyarakat meningkat di periode tersebut. Padahal, tidak ada event yang mendorong peningkatan konsumsi. Di sini, Piter menjelaskan, ada peralihan gaya berbelanja masyarakat ke arah digital.
Menurutnya, fenomena rombongan jarang beli (Rojali) dan rombongan hanya nanya (Rohana), tidak mengindikasikan konsumsi benar-benar turun. Tetapi, sekarang, masyarakat justru lebih gemar berbelanja secara online karena dirasa lebih murah.
“Terjadi shifting dari cara kita belanja yang selama ini belanja langsung di pusat perbelanjaan, sekarang ini enggak lagi. Mayoritas kita itu belanja itu secara online di, e-commerce. Dan kenapa itu dilakukan? Karena lebih mudah dan lebih murah,” ungkap Piter.
Faktor Pendukung Lainnya
Ditambah lagi dengan beragam faktor lain, seperti penerimaan investasi, belanja pemerintah, sampai dengan neraca ekspor-impor, Piter merasa yakin kalau data yang BPS sajikan itu valid dan bisa dipercaya.
“Saya kira, angka yang disampaikan oleh BPS itu masih cukup valid dan cukup reliabel untuk dipakai,” tukasnya. (*) Mohammad Adrianto Sukarso










