Ekonom Soroti Lemahnya Konsumsi, Desak Percepat Belanja Negara

Ekonom Soroti Lemahnya Konsumsi, Desak Percepat Belanja Negara

Jakarta – Research Director Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti), Gundy Cahyadi, menilai pemerintah perlu mempercepat eksekusi belanja negara guna mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional yang masih bergerak moderat. Dalam situasi global yang belum stabil, belanja negara menjadi salah satu instrumen utama untuk menjaga momentum pertumbuhan.

“Setelah mencatat pertumbuhan PDB sebesar 4,87 persen (YoY) di kuartal I tahun ini, laju pertumbuhan ekonomi kami lihat masih belum membaik di kuartal II. Konsumsi rumah tangga—kontributor utama pertumbuhan—masih lemah, sementara sektor swasta cenderung menunggu arah kebijakan pemerintah,” ujar Gundy, dalam keterangan resmi, dikutip Sabtu, 19 Juli 2025.

Data menunjukkan bahwa eksekusi belanja negara masih berjalan relatif lambat. Hingga akhir Juni 2025, realisasi belanja baru mencapai 38,9 persen dari pagu APBN. Angka ini tertinggal dari realisasi tahun lalu sebesar 42 persen dan juga lebih rendah dari rerata historis 41,2 persen pada periode 2021-2024.

“Lambatnya serapan anggaran tahun ini sebagian besar disebabkan oleh penerimaan negara yang juga lebih rendah, sebagai dampak dari perlambatan ekonomi global dan juga dampak dari implementasi sistem perpajakan baru,” tambah Gundy.

Baca juga: Ekonomi Global Melambat, BI Pede Indonesia Tumbuh Lebih Baik di Semester II 2025

Hingga Juni, penerimaan negara baru mencapai 40,3 persen dari target, lebih rendah dari rerata lima tahun sebelumnya yang berada di atas 52,4 persen.

Meski demikian, situasi ini justru memperkuat urgensi untuk melakukan front-loading belanja negara, yakni, mempercepat realisasi anggaran pada paruh kedua tahun ini.

Gundy menjelaskan, kebijakan ini, berfungsi sebagai counter-cyclical tool untuk mendorong permintaan domestik dan mengaktifkan kembali peran sektor swasta. Dengan konsumsi dan investasi swasta yang cenderung wait-and-see, sinyal konkret dari pemerintah melalui belanja fiskal sangat dibutuhkan untuk menggerakkan perekonomian.

Risiko Pelebaran Defisit, Tapi Tetap Terkendali

Langkah percepatan belanja tentu membawa implikasi terhadap jalur defisit fiskal. Jika belanja dipercepat sementara penerimaan belum pulih penuh, defisit APBN 2025 berpotensi melebar di atas target 2,78 persen dari PDB. Bahkan, bisa mendekati atau melampaui batas 3 persen yang selama ini dijadikan rambu kehati-hatian fiskal.

“Namun, dalam konteks saat ini, pelebaran defisit seharusnya tak langsung dianggap negatif, selama belanja diarahkan ke program produktif seperti hilirisasi industri, ketahanan pangan, transformasi UMKM, serta perlindungan sosial yang tepat sasaran,” ungkap Gundy.

Makroekonomi Relatif Solid

Penting untuk dicermati bahwa kondisi makroekonomi Indonesia masih relatif solid. Rasio utang terhadap PDB tercatat di bawah 40 persen, jauh lebih rendah dibanding banyak negara berkembang.

Sentimen pasar terhadap Indonesia pun tetap positif sepanjang tahun ini, tecermin dari aliran dana asing sebesar Rp42 triliun yang masuk ke pasar obligasi pemerintah selama Januari-Juni 2025.

Baca juga: Ternyata Ini Biang Kerok Dana Asing Rp1,17 Triliun Kabur dari Pasar Saham RI

Ketiga lembaga pemeringkat utama juga terus mempertahankan status peringkat layak investasi bagi Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa pasar menilai fondasi fiskal Indonesia cukup kuat untuk menghadapi dinamika jangka pendek.

Gundy menyarankan agar pemerintah perlu tetap melanjutkan upaya memperkuat penerimaan negara melalui intensifikasi perpajakan, peningkatan kepatuhan, serta evaluasi terhadap efektivitas insentif fiskal yang berlaku.

“Komunikasi publik yang transparan mengenai strategi pengelolaan fiskal, termasuk kebijakan utang dan arah belanja, akan semakin penting untuk menjaga kepercayaan publik dan pasar,” pungkasnya. (*) Steven Widjaja

Related Posts

News Update

Netizen +62