Ekonom Sebut China Malah Harus Bayar ‘Utang’ Proyek Kereta Cepat Whoosh, Ini Penjelasannya
Page 2

Ekonom Sebut China Malah Harus Bayar ‘Utang’ Proyek Kereta Cepat Whoosh, Ini Penjelasannya

Poin Penting

  • Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyarankan pemerintah memanfaatkan utang ekologis dari proyek kereta cepat Whoosh dan hilirisasi nikel untuk menutupi beban fiskal.
  • Penghitungan kerusakan lingkungan, deforestasi, dan insentif industri bisa menghasilkan dana besar, yang dapat digunakan untuk diversifikasi ekonomi dan revitalisasi sektor seperti perikanan dan rempah.
  • Bhima menekankan pentingnya pendanaan yang adil dan kreatif di luar pola utang konvensional, termasuk menagih tanggung jawab iklim dari bank dan investor yang merusak lingkungan.

Jakarta - Beban fiskal Indonesia tidaklah ringan. Selain harus membiayai beragam program prioritas, Pemerintah Indonesia juga harus melunasi utang-utang luar negerinya (ULN).

Utang luar negeri Pemerintah Indonesia tercatat USD210,1 miliar atau sekitar Rp3.516 triliun (asumsi kurs Rp16.738 per dolar AS) pada kuartal III 2025. Nilai ULN Pemerintah Indonesia itu mengalami kenaikan 2,9 persen secara tahunan.

Baca juga: Utang Luar Negeri RI Turun Jadi USD424,4 Miliar di Kuartal III 2025

Pemerintah Indonesia tentunya terus berupaya mencari sumber-sumber dana baru untuk menutupi beban anggaran dan utang tersebut.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara menyampaikan, Pemerintah Indonesia dapat mencari sumber dana secara kreatif, seperti salah satunya melalui utang iklim atau ekologis.

Proyek Kereta Cepat Whoosh dan Isu Ekologis

Bhima mengungkapkan bahwa ia telah menyampaikan hal itu kepada Menteri Keuangan RI, Purbaya Yudhi Sadewa dalam suatu pertemuan belum lama ini, di mana ia menyinggung soal utang Indonesia dalam proyek kereta cepat Whoosh.

Ia menjelaskan, proyek kereta cepat seolah terpisah dari isu lingkungan. Ia lalu mengingatkan bahwa proyek kereta cepat sebagai pionir kerja sama Belt and Road Initiative atau kerja sama Jalur Sutera Baru Indonesia-China, juga meliputi proyek hilirisasi nikel dan bauksit, yang tak bisa dipisahkan dari isu ekologis atau ekonomi berkelanjutan.

“Begitu dibedah, berapa banyak negara sudah memberikan konsesi nikel dengan pengawasan yang sama sekali tak ketat. Bahkan, bahan baku dan barang modal seperti truk, bisa dinikmati dengan tidak bayar pajak kendaraan bermotor,” beber Bhima saat acara diskusi publik di Jakarta, Selasa, 18 November 2025.

Baca juga: Negara Tersandera! Nasib Whoosh dalam “Pelukan Utang Jahat”

Ia menambahkan, plat nomor truk-truk di kawasan industri bahkan tidak teregistrasi karena dianggap bagian dari insentif. Jika semua hal ini dikalkulasi, termasuk kerusakan lingkungan akibat deforestasi dari pertambangan dan smelter nikel, menurutnya potensi sumber dana bagi pemerintah sangat besar.

“Coba dikalkulasikan semua, sehingga kita bisa bilang, ‘China, jangan lagi bicara utang kereta cepat. Justru anda harus bayar nih, karena Indonesia memberikan surplus’. Ngapain kita harus bayar utang?” jelas Bhima.

Bhima menambahkan, kalkulasi utang ekologis ini bukan hanya bisa membayar beban kereta cepat, tetapi juga memperbaiki ekosistem hilirisasi, termasuk yang sudah rusak.

“Meskipun kita tahu tak akan pernah balik ekosistem yang rusak di Morowali, Maluku Utara, lalu di Konawe. Tapi, setidaknya hasil pembayaran utang ekologis itu bisa mendanai diversifikasi ekonomi. Perikanan jadi hidup lagi, rempah-rempah yang ada di Maluku juga bisa direvitalisasi,” tegas Bhima.

Baca juga: Negara Maju Dituding Raup Keuntungan dari Utang Iklim

Related Posts

News Update

Netizen +62