Oleh Eko B. Supriyanto
Jakarta–Paket demi paket kebijakan terus diumumkan. Hingga akhir November 2015, sudah enam paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah untuk mendorong percepatan pertumbuhan. Tidak ada yang salah dalam paket kebijakan ekonomi itu. Namun, yang terus dikritisi, apakah paket yang telah diumumkan itu sudah berjalan sesuai dengan rencana?
Kemudahan perizinan sampai dengan kemudahan dalam membuka Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sepertinya tak jadi masalah. Namun, yang paling krusial, jika deregulasi sudah dipangkas dan tidak diikuti dengan debirokrasi, sepertinya paket-paket kebijakan ekonomi hanya menjadi sebuah optimisme semu semata. Tampaknya mudah dalam kebijakan, tapi sulit dilaksanakan karena ada beberapa kebijakan yang masih tumpang-tindih.
Pada paket kebijakan ekonomi mengenai kemudahan kredit untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) selanjutnya diikuti dengan penurunan suku bunga atau diberikan subsidi bunga bagi Kredit Usaha Rakyat (KUR). Paket subsidi bunga tersebut tahun ini turun menjadi 10% dari sebelumnya 22%, atau diberi subsidi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 10%, dan pada 2016 akan dilakukan penurunan suku bunga menjadi 9%. Itu artinya, pemerintah memberi subsidi suku bunga sebesar 13% untuk bank-bank pelaksana KUR yang sebagian besar adalah bank-bank badan usaha milik negara (BUMN), terutama Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Mandiri.
Apa makna subsidi suku bunga itu? Di satu sisi, kebijakan ini akan menguntungkan UMKM-UMKM yang selama ini membayar suku bunga lebih tinggi. Sehingga, dengan suku bunga rendah, diharapkan usahanya dapat berkembang.
Suku bunga yang lebih rendah merupakan keinginan pemerintah. Bahkan, Jusuf Kalla, Wakil Presiden Republik Indonesia (RI), dalam beberapa kesempatan menginginkan suku bunga diturunkan. Terakhir, kendati secara tak langsung, Jusuf Kalla menginginkan Bank Indonesia (BI) independen bermusyawarah—yang diartikan, BI harus mendukung keinginan pemerintah dalam mendorong dunia usaha dengan penurunan suku bunga.
Menurut catatan Infobank, sikap Jusuf Kalla itu tidak berubah seperti 10 tahun lalu, ketika menjadi Wakil Presiden RI pada era pertama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), periode 2004-2009. Saat itu beliau rajin memanggil direksi bank-bank BUMN untuk menurunkan suku bunga. Kini, dengan mengatakan BI harus independen bermusyawarah, maka setidaknya BI mau mengikuti keinginan pemerintah, yakni menurunkan BI Rate, sehingga bank-bank pun menurunkan suku bunga kreditnya.
Tak ada yang ingin suku bunga tinggi, tapi inflasi yang masih tinggi membuat suku bunga perbankan juga tidak bisa kompetitif dengan negara-negara lain. Rezim suku bunga rendah memang belum bisa dilaksanakan dalam kondisi inflasi yang masih tinggi dan ketidakefisienan perekonomian Indonesia.
Subsidi suku bunga bagi KUR merupakan cerminan keinginan pemerintah. Di sisi bank-bank pemberi KUR, tidak berkurang sama sekali keuntungannya karena selisih suku bunga dibayar APBN setelah diverifikasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ibaratnya, ini hanya akuntansi belaka. Tingkat margin yang diterima bank pelaksana KUR tetap sehingga tingkat keuntungannya juga tetap. Hanya, yang akan lebih sedikit rumit, ini melibatkan BPK dan sudah tentu karena ini uang APBN, dan mudah-mudahan seluruh pemberi kredit KUR tidak terkena masalah merugikan negara pada kemudian hari.
Masalah muncul karena program KUR ini terkena target, maka akan terjadi perpindahan nasabah lama yang selama ini sudah menikmati suku bunga tinggi ke suku bunga rendah. Sasaran untuk debitor-debitor baru yang akan menerima KUR juga tak mudah karena persoalannya bukan pada suku bunga, melainkan pada rendahnya permintaan.
Sedangkan, dampak yang paling besar dari subsidi bunga ini adalah masa depan bank-bank swasta yang bergerak di pasar mikro. Bank-bank yang bergerak dengan cost of funds yang sama harus bersaing dengan bank-bank BUMN yang suku bunganya disubsidi.
Tentu, bank-bank swasta, taruh saja Bank Danamon yang bergerak di pasar mikro, akan terkena efek panas dari subsidi suku bunga. Tak hanya Bank Danamon, tapi juga semua bank swasta yang bergerak di pasar mikro. Termasuk, BPR-BPR yang ada di selusuh pelosok Tanah Air.
Hampir tak mungkin bank-bank swasta yang bergerak di pasar UMKM akan memberikan suku bunga sebesar 9%, seperti diberikan kepada bank-bank BUMN penyalur KUR. Dalam perspektif ke depan, bank-bank BUMN untuk kredit mikro akan lebih nikmat: kreditnya dijamin, marginnya tetap, sementara cost of funds-nya rendah karena bank-bank BUMN mempunyai risiko lebih rendah.
Di lain sisi, apakah ini namanya revolusi mental atau sebuah keberpihakan pada kredit mikro? Bisa jadi demikian. Apalagi, suku bunga KUR akan lebih kecil dengan suku bunga korporasi pada 2016. Harapannya tentu akan banyak masyarakat yang mendapatkan KUR. Namun, jika terjadi pelarian debitor lama non-KUR di bank-bank BUMN dan perpindahan nasabah mikro bank-bank swasta, tentu akan jadi masalah bagi bank-bank tersebut.
Subsidi bunga diharapkan tidak menimbulkan persaingan yang tak sehat bagi industri perbankan. Semoga subsidi bunga tidak mematikan langkah bank-bank swasta, BPR, dan BPD yang selama ini juga ikut bergerak di kredit kecil ini. Sebab, kehadiran bank-bank swasta, BPD, dan BPR masih tetap kita kehendaki sebagai ekosistem perbankan dalam melayani kebutuhan nasabah akan pembiayaan. Keseimbangan itu harus tetap dijaga.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah Infobank.