Jakarta – Mendukung upaya dekarbonisasi di ASEAN, Standard Chartered belum lama mengadakan diskusi panel bertema “Decarbonisation Opportunities in ASEAN’ di Indonesia International Sustainability Forum 2024 (ISF 2024) beberapa waktu lalu.
Diskusi panel ini mempertemukan para pemangku kepentingan dan membahas strategi untuk mempercepat transisi menuju masa depan emisi nol-bersih di ASEAN.
Diskusi panel menghadirkan Prashant Hampihallikar, Head of Corporate Investment Banking, Standard Chartered Indonesia; Alice Carr, Executive Director, Public Policy and JETPs, Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ); Srini Nagarajan, Managing Director and Head of Asia, British International Investment; dan Neo Gim Huay, Managing Director, World Economic Forum. Sementara, Dale Hardcastle didapuk sebagai moderator.
ASEAN menghadapi sejumlah tantangan unik dalam transisi menuju net zero. Namun ada peluang untuk mempercepat kemajuan melalui kolaborasi strategis, inovasi kebijakan, dan investasi yang ditargetkan pada sektor-sektor yang berdampak besar.
Baca juga: Dukung Net Zero Emission, SIG Tingkatkan Penggunaan Bahan Bakar Alternatif
Acara dibuka Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati, Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Pendanaan Iklim Mari Elka Pangestu, Standard Chartered Group CEO Bill Winters, dan Cluster CEO, Indonesia and ASEAN Markets, Standard Chartered Rino Donosepoetro,.
Dalam sambutannya, Bill Winters menegaskan salah satu kendala terbesar dalam transisi energi bukanlah soal kekurangan dana, tapi tantangan untuk mengarahkan modal ke tempat yang paling membutuhkan. Beberapa perubahan kebijakan di ASEAN dan Indonesia membantu menciptakan kerangka standar untuk menjembatani kesenjangan antara investor dan proyek yang membutuhkan pendanaan.
“Pada dasarnya, tugas kami selaku pelaku industri bisnis adalah mendorong keterlibatan sektor swasta, bersamaan dengan kebijakan publik dan pendanaan publik,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa, 10 September 2024.
Sebelumnya, Standard Chartered telah mengumumkan komitmen untuk memobilisasi US$300 miliar dalam bentuk Pendanaan Keberlanjutan (Sustainable Finance) hingga tahun 2030. Sejak Januari 2021 hingga September 2023, Standard Chartered secara global telah memobilisasi US$87,2 miliar untuk memenuhi komitmen tersebut.
Adapun Sri Mulyani dalam sambutannya mengatakan, dengan keragaman perekonomian ASEAN, selalu ada peluang mengatasi perubahan iklim. Namun, secara bersamaan selalu ada tantangan guna memastikan setiap anggota ASEAN memiliki kemampuan dan kecukupan dana untuk mengatasi isu perubahan iklim. Dekarbonisasi di ASEAN juga harus memprioritaskan optimalisasi investasi publik dan swasta, karena upaya ini bisa memakan biaya sangat mahal.
“Taksonomi ASEAN untuk keuangan berkelanjutan dapat berfungsi sebagai kerangka kerja yang berharga bagi sektor swasta untuk berpartisipasi dalam upaya dekarbonisasi, terutama dalam mengadopsi praktik keuangan berkelanjutan yang dapat mendukung tujuan penghindaran perubahan iklim,” ujarnya.
Sementara, Luhut Binsar Pandjaitan, menyebutkan, pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya untuk mengatasi perubahan iklim. Misalnya kerja sama dengan Singapura dalam perdagangan listrik ramah lingkungan yang diperkirakan akan menghasilkan investasi sebesar US$30-50 miliar. Indonesia akan memanfaatkan cadangan mineral penting yang dimilikinya, antara lain untuk menghasilkan produk bernilai lebih tinggi, seperti baterai untuk kendaraan listrik dan sistem penyimpanan energi baterai untuk sumber listrik intermiten. Tapi itu belim cukup.
“Kolaborasi sangat penting untuk memastikan bahwa teknologi yang diperlukan dapat diakses untuk mendorong pembangunan berkelanjutan di seluruh kawasan dan investasi besar tersedia untuk mendanai inisiatif dekarbonisasi ini,” tegas Luhut.
Baca juga: Dukung Dekarbonisasi di Sektor Industri, PLN Suplai Energi Hijau ke Perusahaan Fashion H&M Group
Temuan Utama dari Laporan Southeast Asia Green Economy 2024
Diskusi panel diawali dengan pemaparan temuan dari laporan bertajuk Southeast Asia’s Green Economy 2024 – Moving the needle, yang dikeluarkan oleh Bain & Company, GenZero, Standard Chartered dan Temasek. Laporan edisi kelima ini mengidentifikasi 13 ide investasi untuk dekarbonisasi yang menghadirkan peluang ekonomi hingga US$150 miliar pada tahun 2030. Ide-ide ini mencakup sektor-sektor seperti alam dan pertanian, listrik, transportasi, dan bangunan, untuk mengatasi tantangan-tantangan unik di kawasan ASEAN dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan kebutuhan transisi energi.
Pemaparan laporan disampaikan oleh Dale Hardcastle, Partner, Bain & Company. Laporan ini juga mengidentifikasi lima aspek yang dapat mempercepat transisi hijau di kawasan Asia Tenggara, yakni:
1. Insentif kebijakan yang lebih komprehensif
2. Mekanisme keuangan yang inovatif,
3. Peningkatan investasi dari sektor swasta,
4. Pengembangan proyek percontohan
5. Kolaborasi regional
Menurut Rino Donosepoetro, negara-negara ASEAN berada di tahap transisi yang berbeda-beda. Tapi kawasan ini memiliki potensi sangat besar untuk melakukan aksi iklim dalam skala besar.
“Dengan mendorong kolaborasi dan memanfaatkan mekanisme keuangan yang inovatif, kita dapat mendorong transisi menuju perekonomian beremisi karbon rendah dan ramah lingkungan,” tukasnya. (*) Ari Astriawan