Jakarta – Indonesia kini tengah dihadapi persoalan turunnya populasi masyarakat ekonomi kelas menengah atau middle class. Data LPEM FEB UI menunjukkan jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia tercatat 52 juta di 2023, atau menyusut 8,5 juta dari 60 juta pada 2018.
Sementara Bank Dunia mengungkapkan, proporsi kelas menengah di Indonesia pada 2018, sebesar 23 persen dari jumlah penduduk, sedangkan 2019 tersisa 21 persen seiring membengkaknya kelompok kelas menengah bawah atau aspiring middle class (AMC) dari 47 persen menjadi 48 persen.
Pada 2023, proporsi kelas menengah turun lagi menjadi 17 persen, AMC naik menjadi 49 persen, dan kelompok rentan meningkat menjadi 23 persen.
Menurut Asian Development Bank (ADB), kelas menengah sendiri adalah mereka dengan pengeluaran USD2 – 20 per hari atau Rp34.000 – Rp340.000 (kurs Rp16.000/USD1).
Melihat kondisi tersebut, ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan (menkeu) RI, Bambang Brodjonegoro menjelaskan, faktor utama yang menyebabkan penurunan jumlah populasi masyarakat ekonomi kelas menengah adalah pandemi Covid-19.
Baca juga: Kantong Kelas Menengah Terkuras untuk Makan dan Rumah
“Kita lihat datanya 2019 ke 2023, jadi penyebab pertama apa, Covid,” tegasnya saat ditemui di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ia katakan, pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk di Indonesia selama dua tahun membuat banyak kelas menengah kehilangan pekerjaannya. Di samping itu, ada pula kelas menengah yang memiliki bisnis mengalami kebangkrutan akibat pandemi Covid-19.
Bambang melanjutkan, ketika pandemi Covid mulai mereda pada 2022, gelombang tingkat suku bunga tinggi mulai melanda dunia, yang diinisiasi oleh naiknya suku bunga bank sentral AS (The Fed) untuk meredam tingginya tingkat inflasi. Ini lalu berimbas pada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap US dolar.
“Jadi kombinasi yang dimulai dari Covid-19, kemudian diperparah dengan tingkat suku bunga tinggi, nilai tukar yang melemah, apapun menjadi mahal, kan mengurangi daya beli juga,” jelasnya.
Kondisi yang ada kemudian diperparah lagi dengan munculnya kekhawatiran atas anomali iklim El Nino, yang mendorong inflasi harga pangan makin meningkat, serta badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi pada beberapa industri domestik seperti tekstil karena tak sanggup berkompetisi dengan produk impor.
Ia pun berharap ke depannya, dengan adanya sinyal penguatan rupiah, harga-harga di pasar bisa melandai. Ia juga menekankan pentingnya menarik investasi yang lebih besar, agar bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
“Karena kalau PHK, orang kehilangan pekerjaan, kehilangan bisnis, ya kita harus datangkan lagi investasi supaya mereka mendapatkan sumber income,” terangnya.
Judi Online dan Air Minum
Tak lupa ia menyinggung soal judi online yang menurutnya banyak menyasar masyarakat dari kelas menengah, aspiring middle class, dan near poor. Sifat judi online yang membuat korbannya kecanduan pada akhirnya membuat pendapatan masyarakat yang terjerat olehnya cepat terkuras pendapatannya.
Di samping itu, untuk jangka menengah-panjang, kondisi masyarakat kelas menengah yang banyak berada di perkotaan membuat pemerintah perlu memperbaiki infrastruktur dasar perkotaan seperti transportasi umum, agar masyarakat tak perlu boros menghabiskan biaya untuk keperluan BBM kendaraan pribadi.
“Selain itu, di sektor perumahan, ketersediaan rumah, harga rumah, sewa rumah, itu juga harus dijaga karena memengaruhi langsung daya beli setiap bulan kan,” tukasnya.
Bahkan, tanpa disadari, kebutuhan masyarakat akan air minum saja bisa menggerus pendapatan masyarakat setiap bulan. Oleh karenanya, ia menyarankan pemerintah turut memperhatikan kebutuhan masyarakat atas air bersih.
Baca juga: Ini Bukti Nyata Pentingnya Peran Kelas Menengah untuk Ekonomi Indonesia
“Kita semua mengandalkan air galon, air botol. Seharusnya kalau di negara maju daya beli kelas menengahnya aman karena untuk air mereka tak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak,” tegasnya.
Sementara itu, ketika disinggung soal kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen di tahun depan, Bambang katakan bahwa hal itu tak berkorelasi langsung dengan penurunan jumlah populasi kelas menengah. Menurutnya, tak ada bukti yang menunjukkan dampak dari kenaikan tarif pajak terhadap penurunan income masyarakat.
“PPN itu kan sempat naik dari 10 ke 11 persen, dan waktu itu tak ada yang menyinggung bahwa itulah penyebab turunnya daya beli. Jadi, kita fokus dulu lah pada yang benar-benar langsung memengaruhi daya beli,” pungkasnya. (*) Steven Widjaja