Duh! Optimisme Purbaya Rp200 Triliun: Kredit Belum Cair KPK Sudah “Meneror”, Mengikuti “Mazhab” Kriminalisasi Kredit Macet

Duh! Optimisme Purbaya Rp200 Triliun: Kredit Belum Cair KPK Sudah “Meneror”, Mengikuti “Mazhab” Kriminalisasi Kredit Macet

Oleh Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank Media Group

DUH! Pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) – Asep Guntur, Plt Direktur Penindakan dan Eksekusi KPK yang mengingatkan Menteri Keuangan mengenai potensi korupsi dalam kebijakan penempatan dana Rp200 triliun ke bank-bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) adalah sebuah tindakan yang lahir dari niatan baik. Kewaspadaan terhadap penyalahgunaan uang rakyat adalah hal yang mutlak dan tidak boleh dikompromikan.

Namun, cara penyampaian dan kontekstualisasinya, dengan menggunakan contoh kasus kredit fiktif di sebuah Bank Perekonomian Rakyat (BPR), justru berpotensi menimbulkan chilling effect, atau “efek mengecilkan hati” yang sangat berbahaya bagi iklim perbankan dan pemulihan ekonomi Indonesia. Hal ini bisa dibaca sebagai “teror” kepada para bankir, apalagi diungkapkan sebelum kredit ini cair ke nasabah termasuk ke Koperasi Desa Merah Putih yang menjadi program unggulan Pemerintahan Prabowo Subianto.

Jelas pernyataan itu tidak sesuai dengan semangat pemerintah yang hendak mendorong pereknomian lewat kredit perbankan yang selama ini “mampet” – yang salah satunya kriminalisasi kredit macet di bank-bank pelat merah dan sudah pasti di Bank Pembangunan Daerah (BPD).

Jujur saja, menyamakan potensi risiko pada penempatan dana pemerintah di bank-bank BUMN (Himbara) yang memiliki tata kelola, risk management, dan pengawasan yang relatif kuat dengan kasus kredit fiktif di sebuah BPR di Jepara adalah sebuah analogi yang keliru. Ini seperti membandingkan sistem penerbangan komersial dengan sebuah taksi online. Atau, istilah populernya membandingkan apel dengan jeruk. Jelas salah analogi dan tentu substansi. Apalagi, pernyataan itu di tengah keinginan pemerintah di mana bank-bank mengucurkan kredit dari uang “doping” Rp200 triliun.

Kebijakan Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan “membasahi” perbankan sebesar Rp200 triliun ini adalah instrumen fiscal injection atau penempatan dana pemerintah yang likuiditasnya diharapkan dapat disalurkan oleh perbankan ke sektor-sektor produktif untuk mendorong pertumbuhan. Mekanismenya melibatkan proses yang rigid, diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan ditujukan untuk proyek-proyek strategis. Sementara, kasus BPR Jepara Artha adalah murni kejahatan perbankan klasik berupa kredit fiktif, kolusi, dan penipuan yang dapat terjadi di bank jenis apa pun, pada skala apa pun.

Dengan menyamakan kedua hal ini, KPK tidak hanya dinilai gegabah tetapi juga menebar kekhawatiran atau semacam “teror” — yang tidak perlu (unnecessary terror) kepada para “bankir pelat merah”. Bankir-bankir ini adalah ujung tombak dari kebijakan moneter dan fiskal. Jika mereka dicekam ketakutan akan dikriminalisasi di kemudian hari, yang terjadi adalah risk aversion yang ekstrem.

Inilah inti persoalannya. Pemerintah dan OJK mendorong agar perbankan agresif menyalurkan kredit untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain, aparat penegak hukum seringkali masuk dengan perspektif hindsight bias — menilai sebuah keputusan bisnis (business judgment) yang diambil beberapa tahun lalu dengan menggunakan kondisi faktual saat ini (ketika kredit itu macet).

Dalam dunia perbankan dan investasi, tidak ada satu pun keputusan pemberian kredit yang memiliki probabilitas sukses 100 persen. Setiap kredit mengandung risiko. Seorang bankir mengambil keputusan berdasarkan analisis yang mendalam pada saat itu (ex-ante): prospek usaha, kondisi industri, kemampuan manajemen, dan jaminan. Mereka bekerja berdasarkan business judgment rule.

Jika beberapa tahun kemudian, karena terjadi resesi ekonomi global, perang dagang, atau pandemi yang tidak terduga (force majeure) yang menyebabkan kredit macet, lalu keputusan bankir itu dikriminalisasi, maka ini adalah sebuah ketidakadilan. Tindakan ini mengabaikan unsur unforeseen circumstances yang berada di luar kendali seorang bankir.

Ibaratnya sekarang yang terjadi, meminta bankir melompat, tapi mengancam akan menangkapnya saat mendarat. Selama ini, para bankir memberikan kredit ke nasabah ketika nasabahnya berkembang dan prospektif, tapi pihak aparat hukum melihat ketika kredit sudah macet dan apapun penyebabnya. Dua pandangan yang berbeda ini masih terus berlangsung dan bahkan menjadi semacam target penindakan korupsi.

Padahal, kredit macet bukanlah semua korupsi, dan memperlakukan sebagai korupsi adalah bencana mengkerangkeng setiap kredit macet sebagai potensi korupsi memiliki dampak makro yang sangat menghancurkan. Menurut diskusi terbatas Infobank akan ada beberapa dampak makro yang mengkawatirkan.

Satu, credit crunch — bankir akan menjadi ultra-konservatif. Mereka akan memilih untuk menempatkan dananya di Surat Berharga Negara (SBN) (yang aman) atau hanya memberi kredit kepada perusahaan-perusahaan besar dengan kolateral berlebihan. Sektor UMKM dan segmen korporasi menengah yang seharusnya menjadi motor pertumbuhan justru akan kesulitan mendapat pendanaan. Kebijakan Rp200 triliun pun bisa mandek di level bank, tidak sampai ke sektor riil.

Dua, mematikan inovasi dan sektor emerging.  Sektor-sektor baru yang berisiko tinggi namun berpotensi besar, seperti teknologi hijau (green economy) atau ekonomi digital, akan dihindari. Bankir tidak akan mau mengambil risiko untuk membiayai inovasi karena takut dipidana. Juga, potensi kredit macet pada Koperasi Merah Putih yang juga akan dialokasikan kredit.

Tiga, lumpuhnya fungsi intermediasi perbankan. Fungsi utama bank adalah sebagai intermediary, penyalur dana. Jika fungsi ini lumpuh karena ketakutan, maka seluruh mesin ekonomi ikut melambat. Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah akan sangat sulit dicapai. Menurut data Biro Riset Infobank, kredit perbankan hanya tumbuh 7,5 persen. Jauh, dari kapasitas perbankan, meski angka undisbursed loan mencapai Rp2.372 triliun. Salah satu sebab utama adalah kriminalisasi kredit macet.

Empat, terjadi brain drain di sektor perbankan.  Bankir-bankir terbaik akan enggan mengambil posisi sebagai credit analyst atau business decision maker. Mereka akan beralih ke posisi back office yang lebih “aman” atau bahkan hengkang dari industri perbankan. Sebab, para seniornya yang sudah pensiun tujuh tahun lalu pun tiba-tiba masuk penjara karena kreditnya macet, meski selama menjabat kreditnya lancar-lancar, dan debitur sudah membayar bunga dan mengurangi pokoknya.

Salah satu contoh penting kasus kredit macet di salah satu bank milik bank pelat merah di Bengkulu yang terkena pasal menguntungkan pihak lain. Dan, tujuh pejabatnya, termasuk direktur utama dan direkturnya dimasukkan penjara dengan satu kali pemeriksaan. Langsung dijebloskan penjara dan dibuat press release yang “bombastis” – merugikan negara. Padahal, nilai agunannya lebih besar dari sisa kredit. Pun kreditnya sudah di-write-off dengan cadangan sudah 100 persen.

Tidak ada isu tentang korupsi dari kredit macet ini. Surat-surat hak tanggungan dari BPN/ATR pun sudah lengkap dan sah. Hal yang sama kasus kredit macet sebuah bank BUMN di Palembang karena lahan sawitnya kebakaran kini juga sedang disangkan merugikan negara. Selama ini kreditnya juga lancar dan membayar bunga, tapi karena lahannya kebakaran kredit itu pun macet.

Bagaimana Jalan Tengahnya, Mencegah Korupsi Tanpa Mematikan Ekonomi?

Jujur, KPK, Kejaksaan Agung, dan pihak Kepolisian tentu saja tetap harus berperan dalam pemberantasan korupsi.  Namun, pendekatannya perlu diubah dari fault-finding menjadi solution-building. Menurut hasil diskusi terbatas Infobank, ada beberapa pendekatan.

Satu, pencegahan Ex-Ante, bukan penindakan Ex-Post. Itu artinya KPK, Kejaksaan Agung dan Kepolisian bersama OJK, harus membantu membangun sistem yang kebal korupsi sejak awal. Perkuat pengawasan internal bank, pastikan transparansi dalam proses penyaluran kredit dari dana pemerintah ini, dan gunakan teknologi untuk memantau aliran dana. Fokus pada pencegahan, bukan menunggu masalah terjadi lalu menindak.

Dua, memisahkan secara tegas antara maladministrasi, kelalaian, dan kejahatan.  Tidak semua kredit macet adalah korupsi. Harus ada parameter yang jelas untuk membedakan antara, korupsi — ada unsur suap, gratifikasi, atau pemerasan dengan sengaja (intent to corrupt). Sedangkan, maladministrasi/kelalaian. Prosedur tidak diikuti, analisis credit kurang mendalam, tetapi tidak ada unsur suap. Hal ini melanggar System Operating Procedur (SOP) saja, tidak melanggar UU Tipikor dengan pasar korupsi.

Tiga, business judgment, keputusan sudah diambil secara profesional berdasarkan data yang ada pada saat itu, namun gagal karena faktor eksternal yang tidak terduga. Empat, perlu forum dialog permanen antara Pemerintah (sebagai regulator fiskal), OJK (sebagai regulator perbankan), dan KPK/Kejagung/Kepolisian (sebagai penegak hukum). Forum segi tiga ini untuk menyamakan persepsi, membangun protokol, dan mencegah tindakan yang justru kontra-produktif bagi ekonomi nasional. Untuk itu, OJK harus menjadi pemimpin utama dalam mengambil peran dan forum segi tiga ini. Pihak OJK harus menjadi “banteng” bagi tindakan kriminalisasi kredit macet.

Akhirnya, peringatan KPK ibarat sirene yang penting, tetapi jika dibunyikan terus-menerus tanpa adanya kebakaran, yang terjadi adalah kepanikan massal dan kelumpuhan. Kebijakan Rp200 triliun adalah suntikan “adrenalin” untuk ekonomi Indonesia. Jangan sampai niatan baik memberantas korupsi justru memutuskan selang infus tersebut sebelum cairannya masuk ke dalam tubuh ekonomi.

Jelas, semua membutuhkan kewaspadaan, tetapi bukan paranoid. Indonesia  membutuhkan penegakan hukum, tetapi bukan kriminalisasi atas risiko bisnis. Para bankir harus dijamin bahwa mereka akan dilindungi. Selama bankir bekerja berdasarkan prinsip kehati-hatian dan profesionalisme, harus dilindungi. Dan, bukan dihantui oleh bayangan jeruji besi di setiap keputusan yang mereka ambil untuk memajukan ekonomi bangsa. Apalagi, selama berkerja bankir menjaminkan harta pribadi jika terjadi kesalahan yang menyebabkan banknya bermasalah.

Stop! KPK tidak menjadi “teror” baru bagi perbankan — yang saat ini didorong bisa “kencing” kredit tanpa ketakutan. Dan, sudah seharusnya KPK tidak melanjutkan “mashab” kreminalisasi kredit macet yang masih bergerilya di daerah-daerah dengan menumpang kredit macet dari aparat penegak hukum sebelumnya. Tidaklah lucu jika sebelum kredit cair meminta KPK/Kejaksaan/Kepolisian untuk memberikan fatwa bahwa kredit yang akan dicairkan bebas korupsi.

Lha, kredit saja belum cair, KPK kok sudah menebar “teror” dengan menyamakan kredit fiktif BPR dengan kredit yang disalurkan lewat bank-bank BUMN. Bahwa korupsi harus diberantas, tapi menyamakan kucuran Rp200 triliun ke bank pelat merah dengan kredit fiktif BPR Jepara Artha tentu tidak sama.

Jika kriminalisasi ini terus berlangsung, maka sudah sewajarnya bank-bank membeli SRBI dan SBN saja. Aman dan tetap nikmat. Presiden Prabowo Subianto pun harus turun tangan, membereskan pasal karet kredit macet yang dianggap korupsi. Itu jika ingin bertumbuhan berkualitas 8 persen lewat jalur kredit perbankan. Jika tidak, lupakan semua itu dan hanya akan menjadi omon-omon semata – yang berdampak pada kehilangan kepercayaan masyarakat.

Related Posts

News Update

Netizen +62