Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan masih terdapat insan dari lembaga pendidikan yang menjadi korban aktivitas keuangan ilegal. Termasuk, para guru sekolah yang terjerat pinjaman online (pinjol) ilegal.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi menyebutkan bahwa banyak guru, pelajar dan mahasiswa yang sering melaporkan kepada pihaknya karena menjadi korban pinjol ilegal.
“Ini sudah banyak kebutuhan pun konsumstif, seperti itu mulailah mereka terjerat pinjol-pinjol ilegal,” ujar Friderica dalam acara Training of Trainers di Gedung Dinas Pendidikan, Senin, 20 Mei 2024.
Baca juga: Aplikasi Ini Bisa Bantu Karyawan Hindari Jeratan Pinjol Ilegal
Mencermati hal tersebut, OJK mengadakan edukasi keuangan bagi guru Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI), yakni acara Training of Trainers bagi guru dengan tema “Guru Cerdas Keuangan, Wujudkan Masa Depan Sejahtera”. Ini diadakan sekaligus memperingati Hari Pendidikan Nasional.
Beberapa guru pun membagikan pengalamannya mengenai produk jasa keuangan ilegal. Salah satunya, Arlin, yang mendapatkan telepon saat sedang mengajar yang menyebut ia telah mendaftarkan asuransi kesehatan.
Pihak yang menelepon tersebut menyebutkan data-data Arlin dengan lengkap. Kemudian, ia meminta untuk membatalkan produk asuransi tersebut, namun pembatalan tidak pernah dilakukan dan Arlin menerima tagihan sampai Rp3 juta.
Merasa sudah membatalkan, pihaknya tidak ingin membayar, namun ia terus diteror melalui panggilan telpon. Meskipun sudah mengganti nomor ponselnya, Arlin tetap mendapat teror.
Bahkan, pihak yang menagih sampai mendatangi sekolah tempat Arlin mengajar. Pada akhirnya, karena sudah ditekan dari berbagai pihak, ia akhirnya membayar tagihan yang tidak pernah ia lakukan itu.
Baca juga: Satgas PASTI OJK Kembali Blokir 585 Pinjol Ilegal dan Pinpri
Kiki menegaskan, edukasi itu lebih dari sekadar akademik saja. Edukasi juga mencakup pendidikan karakter dan ilmu-ilmu kehidupan, termasuk tentang keuangan. Menurutnya, para guru sudah mengerti soal ancaman digital, tetapi belum sepenuhnya terliterasi.
“Karena itu, kita terpanggil untuk bagaimana kita merangkul guru-guru ini. Kita didik satu guru, satu kelas, satu sekolah akan menjadi well-literated. Jangan sekadar digital literated gampang akses ke mana-mana, tapi nggak fully literate dalam hal ilmunya, nah itu juga bisa membuka kepada peluang menjadi korban dengan produk jasa keuangan yang nggak tepat untuk dia,” ujar Friderica. (*)
Editor: Galih Pratama