Jakarta – Anggota Komisi VI DPR RI Gde Sumarjaya Linggih meminta pemerintah memprioritaskan kepentingan nasional sebagai prioritas utama untuk menyikapi dinamika perdagangan global.
Menurutnya, pemerintah perlu lebih cermat mengantisipasi dampak kebijakan dagang negara-negara besar, mulai dari tarif tinggi era Trump hingga perubahan lanskap akibat BRICS dan tren deglobalisasi yang makin nyata.
Terkait tarif ekspor produk Indonesia ke Amerika Serikat (AS), dirinya memuji capaian pemerintah yang berhasil menurunkan tarif ekspor produk Indonesia ke AS menjadi 19 persen pasca negosiasi dengan pemerintahan Donald Trump.
Langkah ini menjadi napas baru bagi para eksportir, terutama pelaku UMKM dan industri kerajinan Bali yang banyak bergantung pada pasar Amerika.
Baca juga : Bos BI Beberkan Dampak Positif dari Hasil Negosiasi Tarif Trump
“Ini prestasi. Tadinya teman-teman di Bali, terutama ASPH, sudah mulai deg-degan karena ekspor ke Amerika cukup besar, khususnya barang-barang seni. Hampir semua orang yang sudah sejahtera sedikit pasti mau punya barang seni, dan banyak asalnya dari Bali,” kata Demer, sapaan akrabnya, dinukil laman dpr.go.id, Kamis, 17 Juli 2025.
Meski begitu, legislator dari Bali ini mengingatkan agar pemerintah tidak berpuas diri. Menurutnya, tantangan tidak berhenti pada kebijakan AS semata.
Dengan munculnya blok-blok ekonomi baru seperti BRICS, serta intensnya tensi perang dagang antara AS dengan Cina dan Rusia, Gde mendorong agar hasil pertemuan Indonesia dengan BRICS maupun ASEAN segera diterjemahkan ke dalam kebijakan teknis di tingkat kementerian.
Baca juga : APINDO Dorong Negosiasi Lanjutan Tarif Trump, Target di Bawah 19 Persen
“Jangan sampai lawatan puluhan jam Pak Presiden ke luar negeri hanya berhenti jadi headline, tapi tidak terimplantasikan di kementerian. Kalau tidak, yang gagal bukan Pak Prabowo, tapi kita di bawah ini yang tak mengeksekusi,” tegasnya.
Perdagangan Global Butuh Strategi Baru
Menyoroti tren deglobalisasi yang semakin menguat, Gde menilai bahwa negara-negara maju kini makin agresif dalam memproteksi pasar domestik.
Mereka menerapkan kebijakan tarif dan nontarif, memprioritaskan industri dalam negeri, bahkan mempertimbangkan ulang keanggotaan mereka di organisasi multilateral seperti WTO.
Oleh karena itu, ia meminta Kementerian Perdagangan lebih serius dalam merumuskan kebijakan penghalang (barrier) untuk melindungi industri strategis nasional.
Ia menekankan pentingnya hambatan berupa pajak (tax barrier) maupun kuota impor yang jelas agar tidak sembarangan membuka keran impor.
Editor: Yulian Saputra









