‘Disetir’ IMF, Hipmi Dukung Pemerintah Tolak Pembatasan Ekspor Nikel

‘Disetir’ IMF, Hipmi Dukung Pemerintah Tolak Pembatasan Ekspor Nikel

Jakarta – Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) mendukung langkah pemerintah yang dengan tegas menolak imbauan Dana Moneter Internasional alias IMF untuk menghapus pembatasan ekspor nikel.

Ketua Bidang Maritim, Kelautan, dan Perikanan Badan Pengurus Pusat Hipmi Fathul Nugroho mengatakan, kebijakan hilirisasi yang dijalankan Presiden Joko Widodo sudah tepat. Sebab itu, pemerintah harus berani dan siap menghadapi sejumlah pihak asing yang kontra dengan kebijakan tersebut.

“Kebijakan hilirisasi sudah berjalan dengan baik. Terutama di sektor mineral, beleid tersebut berhasil meningkatkan investasi dan nilai tambah ekspor hasil pengolahan mineral,” ujar Fathul dikutip di Jakarta, Senin (3/7).

Baca juga: Soal Ekspor Nikel, Anggota DPR Minta Pemerintah Jangan Mau Didikte IMF

Sebelumnya, IMF memberikan catatan tentang rencana hilirisasi nikel di Indonesia dalam dokumen ‘IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia’. 

Dalam dokumen tersebut, IMF menyampaikan kebijakan Indonesia seharusnya berlandaskan analisis terkait biaya dan manfaat lebih lanjut. Kebijakan juga harus mempertimbangkan dampak-dampak terhadap wilayah lain.

Atas alasan itu, seolah IMF ingin menyetir Indonesia. Salah satunya dengan mengimbau pemeritnah untuk mempertimbangkan kebijakan penghapusan bertahap terhadap pembatasan ekspor nikel. Bahkan, tidak memperluas pembatasan ekspor ke komoditas lainnya.

Fathul menilai, kebijakan hilirasi yang digalakkan pemerintahan Jokowi dapat mengerek pertumbuhan ekonomi nasional. Tak ayal jika ada pihak asing, termasuk IMF yang terkesan kurang suka dengan langkah yang diambil Indonesia.

Fathul pun berpesan agar pemerintah tetap pada pendiriannya, dan tak gentar dengan manuver yang dilakukan pihak asing. “Pemerintah harus berani dan siap menghadapi pihak luar negeri yang kontra kebijakan tersebut, termasuk IMF, dan mendukung Menko Marivest Luhut Binsar Pandjaitan untuk menjelaskan ke IMF,” jelasnya.

Menurutnya, lembaga sekelas IMF seharusnya bisa bersikap objektif dengan menghitung cost and benefit analysis dari sudut pandang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tidak hanya mementingkan negara lain. 

Sebab, selama ini telah terjadi defisit neraca perdagangan yang cukup besar antara Indonesia dan negara pengimpor nikel, khususnya China. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang 2022, nilai ekspor produk perikanan mencapai 6,24 miliar dolar AS, atau naik 9,15% dibandingkan tahun sebelumnya. 

Baca juga: Saham Murah NCKL Berpotensi Rajai Rantai Pasok Nikel Indonesia

Capaian ini didapat dari pengiriman ke Amerika Serikat, China, Jepang, serta negara-negara lain di ASEAN dan Uni Eropa. Di mana, Tuna-Cakalang-Tongkol (TCT) menjadi penyumbang nilai ekspor terbesar setelah udang. 

Kelompok ikan pelagis khususnya tuna, masih menjadi komoditas andalan yang terus diminati pasar global.

“Apabila hasil laut dan perikanan dapat diolah menjadi produk bernilai tambah, maka diharapkan akan membuka lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan nilai ekspor hingga berkali lipat seperti di komoditas nikel,” pungkasnya. (*)

Editor: Galih Pratama

Related Posts

News Update

Top News