Dirgahayu RI ke-79: TPPU Langgeng, Ribuan Triliun Rupiah Cus ke Luar Negeri  

Dirgahayu RI ke-79: TPPU Langgeng, Ribuan Triliun Rupiah Cus ke Luar Negeri  

Jakarta – Republik Indonesia merayakan hari ulang tahun (HUT) ke-79 pada Sabtu, 17 Agustus 2024. Di HUT ke-79, Indonesia masih dihadapi beragam persoalan klasik yang belum usai. Salah satunya adalah persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang masih menghantui NKRI sejak era orde baru.

Persoalan korupsi yang sistemik dan masif di negeri ini tentu tak cukup diselesaikan melalui statement yang memukau. Namun perlu aksi berani, tegas, dan terukur untuk memberantas problem klasik ini.

Salah satu bagian dari praktik korupsi yang sudah tak asing lagi adalah tindak pidana pencucian uang atau TPPU. Para koruptor menggunakan metode pencucian uang untuk menyembunyikan hasil kejahatan mereka serta menghindari kecurigaan para aparat penegak hukum.

Oleh karenanya, aparat penegak hukum perlu memahami TPPU agar bisa melacak pergerakan uang dari pelaku koruptor, dan bagaimana para koruptor menyembunyikan harta mereka. Tak jarang, mereka menyembunyikan uangnya di luar negeri.  

Data dari Pusat Pelaporan dan Transaksi Keuangan (PPATK) per Juni 2024 menyebutkan ribuan triliun uang asal Indonesia ditransfer (outgoing) atau lari ke luar negeri selama semester 1 tahun 2024. PPATK, dalam Laporan Transaksi Keuangan Transfer Dana dari atau ke Luar Negeri (LTKL) mengungkap bahwa mayoritas duit yang lari ke luar negeri masuk ke Singapura, Amerika Serikat (AS), dan China.

Selain ketiga negara tersebut, triliunan uang asal Indonesia juga mengalir ke Hong Kong, Inggris, Jepang hingga Korea Selatan. Adapun, dalam catatan PPATK, jumlah dana yang ditransfer dari Indonesia ke Singapura mencapai Rp3.595,95 triliun.

Jumlah itu lebih besar dibandingkan dengan Amerika Serikat dan China yang masing-masing sebanyak Rp781,8 triliun dan China sebesar Rp466,1 triliun. Perinciannya, jumlah transaksi transfer dana ke Singapura yakni Rp221,15 triliun pada Januari, Rp194 triliun pada Februari, dan pada bulan Maret 2024 naik menjadi Rp195 triliun.

Selanjutnya, pada bulan April 2024 terjadi lonjakan transfer dana ke Singapura yang cukup signifikan menjadi Rp923,6 triliun. Lonjakan transfer dana ke Singapura (outgoing) berlanjut pada bulan Mei menjadi 1.792,5 triliun. Sementara pada bulan Juni 2024, terjadi penurunan transaksi menjadi hanya sebesar Rp209,7 triliun.

Secara laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM), terpantau mengalami peningkatan 18,7% secara bulanan atau month to month (mtm) pada Juni 2024. Di mana indikasi tindak pidana mayoritas di Juni 2024 adalah perjudian sebesar 27,8 persen.

Baca juga: PPATK Sebut Ada Transaksi hingga Rp127,37 Miliar dari Kasus Prostitusi Anak

Sementara itu, secara keseluruhan, laporan transfer dana dari/ke luar negeri tercatat meningkat sebesar 5,9 persen menjadi 15.430.221 laporan pada periode Januari-Juni 2024 dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.

Melihat data yang ada, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara menyampaikan jika akumulasi transaksi judi online di Indonesia yang mencapai Rp600 triliun, memiliki potensi besar bersifat lintas negara. 

Ia mengungkapkan, celah untuk melakukan transaksi ilegal lintas negara masih besar di Indonesia. Pelaku judi online bisa menggunakan rekening dari bank digital dengan meminjam KTP dari berbagai sumber.

“Kemudahan membuat rekening tanpa tatap muka, punya dampak negatif juga karena KYC (know your customer) yang menjadi tanggung jawab bank menjadi lebih lemah,” ujar Bhima belum lama ini.  

Di lain sisi, keikutsertaan Indonesia menjadi negara anggota FATF (Financial Action Task Force) yang adalah aliansi anti pencucian uang lintas negara perlu dimaksimalkan untuk menutup celah transaksi keuangan ilegal lintas negara melalui sanksi dan regulasi yang ketat bagi para pelaku.

“Apalagi Indonesia juga mau jadi anggota OECD, kan harus punya standar anti pencucian uang lintas negara. Kalau dibiarkan aliran keuangan ilegal terus terjadi maka devisa akan mengalir keluar dan melemahkan nilai tukar rupiah jangka panjang,” jelas Bhima.

Ia lalu membeberkan jika selama ini, belum ada implementasi kebijakan yang benar-benar jelas dan ampuh dalam menangani transaksi atau penempatan dana dari aktivitas ilegal. Semuanya masih sekedar prosedural yang rutin, tapi channel transaksi ilegal makin banyak.

Hal itu dapat dibuktikan dengan masih tingginya nilai transaksi ilegal. Senada dengan Bhima, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengutarakan bahwa celah transaksi dana ilegal di Indonesia masih besar. Ini dikarenakan belum ketatnya pemantauan terkait TPPU.

“Celah-celah itu selalu ada, karena pemantauan atau monitoring terhadap lalu lintas uang sebagaimana barang itu relatif belum ketat di kita,” tegasnya kepada Asianpost.

Menurutnya, Indonesia harus memaksimalkan kesepakatan multilateral yang sudah dibuat antar negara terkait aliran dana ilegal ke luar negeri. Ia mencontohkan, kesepakatan Automatic Exchange of Information soal saling tukar informasi seputar lalu lintas dana dan investasi, yang telah diteken Indonesia beberapa tahun lalu.

“Di samping itu, secara bilateral juga harus. Jadi, kalau dengan Singapura, Indonesia harusnya juga mendiskusikan secara bilateral dengan negara bersangkutan,” sebutnya.

Transaksi Tak Wajar Para Pejabat

Sudah beberapa kali kita dihebohkan dengan kasus nilai transaksi tak wajar para pejabat. Teranyar ialah kasus rekening gendut Rafael Alun Trisambodo di tahun lalu.

PPATK menemukan mantan pejabat pajak eselon III itu memiliki aliran uang yang mencapai Rp500 miliar dari 40 rekening Rafael Alun hingga keluarganya, serta pihak lainnya yang berkaitan dengan Rafael.

Aliran uang setengah triliun itu mengalir dalam kurun empat tahun (2019-2023). Padahal, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dilaporkan Rafael hanya senilai Rp56,1 miliar.

Dalam penyidikan lebih lanjut, Rafael Alun dijadikan tersangka kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Rafael dikatakan menerima gratifikasi selama 12 tahun melalui perusahaan konsultan pajak miliknya yang bernama PT Artha Mega Ekadhana (AME).  

Nilai gratifikasi itu mencapai 90.000 dolar Amerika Serikat (AS). Namun demikian, sumber gratifikasi Rafael diduga tak hanya dari perusahaannya. Nilai total gratifikasi yang diterima Rafael diduga mencapai puluhan miliar rupiah. Jumlah tersebut mengacu pada isi safe deposit box (SDB) senilai Rp32,2 miliar yang ikut diblokir PPATK.  

Uang puluhan miliar rupiah tersebut berbentuk pecahan dollar Amerika Serikat, dollar Singapura, dan Euro.

Baca juga: Komite TPPU Bentuk Satgas Usut Transaksi Rp349 T di Kemenkeu

Terkait TPPU, Rafael dikatakan menerima uang hasil TPPU sekitar Rp57,7 miliar dalam bentuk rupiah. Selain itu, ia diduga menerima 2 juta dolar Singapura serta 937.000 dolar AS.

Akibat kasus tersebut, Rafael pun divonis 14 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan di awal tahun ini. Rafael juga dihukum membayar uang pengganti sejumlah Rp10 miliar paling lama satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkrah.

Selain Rafael, PPATK kala itu juga mengungkapkan telah mengendus sejumlah transaksi mencurigakan dari pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan lainnya.

Di awal 2023, mantan Menkopolhukam RI Mahfud MD juga mengirimkan laporan dugaan pencucian uang yang dilakukan 69 pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani. Mahfud mengirimkan laporan tersebut berdasarkan data yang diperolehnya dari PPATK

Mahfud turut membeberkan adanya transaksi mencurigakan senilai Rp300 triliun yang sebagian besar berada di Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu). (*) Steven Widjaja

Related Posts

News Update

Top News