Dibayangi Defisit, Ini Jurus Efisiensi Wimboh di OJK
Page 3

Dibayangi Defisit, Ini Jurus Efisiensi Wimboh di OJK

Besarnya pungutan yang 0,045 persen tentu tidak memadai, apalagi ada faktor pajak yang besar (35 persen) karena pungutan dinilai pendapatan, dan lebih parahnya lagi anggaran OJK merupakan sisa anggaran tahun sebelumnya. Plus lagi jika janji tidak naik iuran dan usulan dari Perbanas yang menginginkan iuran tidak naik akan dapat menutupi operasional OJK.

Jumlah pungutan selama 2015 dan 2016 masing-masing sebesar Rp3,9 triliun dan Rp4,3S triliun. Dan, sesuai dengan laporan keuangan OJK, pengeluaran OJK yaitu biaya sumber daya manusia (SDM) mencapai 70 persen. Sisanya biaya operasional, sewa dan leasing gedung, serta pengembangan sistem teknologi informasi (TI).

Diperkirakan, jika pertumbuhan anggaran OJK untuk operasional tanpa APBN (capital expenditure atau capex), tentu akan mengalami defisit. Faktor pentingnya karena dominannya biaya SDM yang terus meningkat. Apalagi jika selalu ingin disamakan dengan biaya remunerasi dan fasilitas SDM BI akan menyebabkan defisit anggaran, baik SDM, operasional maupun biaya sewa kantor dan pengembangan TI.

Tidak ada jalan lain bagi Anggota Dewan Komisioner OJK yang baru (2017-2022), selain perlu melakukan konsolidasi dan reformasi kebijakan SDM. Dewan Komisioner juga harus fokus pada pengaturan dan pengawasan, karena ada kemungkinan biaya operasional tersebut akan defisit mulai 2018. Hitungan kasar setidaknya sebesar Rp500 miliar-Rp700 miliar setiap tahun, dan jika diakumulasikan sampai dengan 2022 akan defisit sebesar Rp3 triliun-Rp4 triliun.

Defisit ini tidak akan terjadi jika Bank Indonesia tidak “mengusir” OJK dari gedung BI dan terpaksa sewa beli gedung sendiri di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Atau, bisa saja dibiayai oleh APBN agar beban keuangan OJK tidak tercekik. Sebagai ketua baru, Wimboh juga perlu mengoreksi banyaknya jabatan di OJK yang terlewat gemuk. (*)

Related Posts

News Update

Top News