Diding S. Anwar
Jakarta – Indonesia kerap dipandang negara lain sebagai laboratorium dan percontohan dalam pembiayaan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Maklum, industri perbankannya sudah lama memberikan pembiayaan ke sektor UMKM yang mendominasi atau 99,98% dari unit usaha di Indonesia.
Berbagai desain kredit program telah dibuat pemerintah agar pelaku UMKM mudah mendapatkan akses pembiayaan. Terakhir adalah program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diluncurkan sejak 2007 dengan skema penjaminan kredit kepada bank-bank yang menyalurkan KUR.
Untuk mencapai hasil yang maksimal, tentu kita tidak bisa merasa cepat puas. Meskipun banyak pelaku UMKM yang merasa sangat terbantu dengan program KUR, perkembangan sektor UMKM masih di bawah dari potensinya. Apalagi, masih banyak pelaku usaha papan bawah yang keinginannya untuk lebih berkembang belum terwujud.
Persoalannya, berkembang atau tidaknya pelaku UMKM bukan cuma masalah permodalan dan faktor pengelolaan, melainkan juga faktor kemampuan dalam mengakses pasar. Sementara, produk lokal buatan UMKM dituntut untuk bisa memperkuat pasar domestik maupun menembus pasar mancanegara.
Banyak peluang untuk membuka lebih lebar akses UMKM ke pasar mancanegara. Misalnya, dengan memaksimalkan keterlibatan perusahaan-perusahaan besar dalam pembinaan UMKM, membukakan akses pasar produk UMKM, maupun menjadikan UMKM sebagai bagian dari supply chain. Kemajuan teknologi digital juga bisa dimanfaatkan untuk memasarkan produk-produk UMKM. Selain itu, masyarakat Indonesia yang menetap di mancanegara bisa dimanfaatkan sebagai jaringan (networking).
Banyak orang Indonesia yang tinggal di luar negeri atau dikenal dengan sebutan diaspora ternyata memiliki keinginan untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Anggota diaspora saat ini mencapai 8 juta, dalam hal ini 2 juta di antaranya sudah menjadi warga negara di negara yang mereka tinggali. Mereka tersebar di 42 negara dan 1,7 jutanya berada di Belanda.
Menariknya, para diaspora umumnya sudah lama atau 20 hingga 30 tahun tinggal di negara lain. Sebagian berhasil membuka usaha dengan memasarkan produk-produk asli Indonesia, misalnya ada yang membuka restoran Indonesia di luar negeri.
Keberhasilan sebagian dari diaspora yang berbisnis dengan ikut menjual nama Indonesia bisa menjadi inspirasi bahwa mereka ikut memperkenalkan produk dan budaya Nusantara di negara lain. Karena sudah lama tinggal di negara lain, maka para diaspora sangat memahami budaya negara lain, mengerti selera masyarakatnya, serta memiliki network yang lebih luas di negara lain. Kelebihan diaspora ini bisa dimanfaatkan untuk membantu memberikan informasi mengenai standar produk dan peluang pasar di negara lain yang bisa diisi oleh produk-produk UMKM Indonesia.
Jika produk UMKM yang berbasis olahan maupun hasil kreatitivitas bisa menembus pasar mancanegara, pelaku UMKM dapat belajar mengenai kualitas yang memenuhi standar pasar internasional. Yang lebih penting lagi, kemampuan UMKM memasarkan produk-produknya ke luar negeri bisa membuat sektor UMKM lebih tumbuh berkembang, berpeluang meningkatkan skala bisnisnya agar lebih kompetitif di pasar, dan berkontribusi dalam menghasilkan devisa. Apabila upaya meningkatkan skala bisnis maupun menjaga sustainability usaha membutuhkan dukungan pembiayaan baru, tentunya ada lembaga perbankan dan nonperbankan yang siap mengucurkan kreditnya seperti yang selama ini sudah dilakukan.
Begitu juga dengan lembaga penjaminan seperti Jamkrindo yang selalu siap berkontribusi dengan menyerap risiko pembiayaan yang dikucurkan lembaga perbankan maupun nonperbankan kepada UMKM dengan penjaminan kreditnya. Selama ini, selain memberi penjaminan kredit program seperti KUR, perusahaan penjaminan telah memberi penjaminan kredit-kredit UMKM non-KUR yang dikucurkan lembaga perbankan maupun nonperbankan serta lembaga lain yang memberikan kontrak jasa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
Penulis adalah Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Perusahaan Penjaminan Indonesia.