oleh Eko B Supriyanto
DEMAM syariah ada di mana-mana. Tidak hanya di perbankan, tapi juga sudah merambah sektor keuangan lainnya. Malah, ada hotel yang menerapkan sistem syariah. Ada pula pemikiran wisata syariah. Itu adalah baik adanya. Hidup rukun saling menghormati. Ada syariah, ada konvensional. Lebih dahsyat lagi demam syariah ada di bank.
Tidak hanya akan melakukan konversi, seperti yang sudah dilakukan di Bank Aceh, di Bank NTB. Lalu, di Bank Riau Kepri dan kabarnya Bank Kalsel serta Bank Nagari. Dan, akan disusul di daerah-daerah lainnya. Bank pembangunan daerah (BPD) ramai-ramai mau hijrah ke sistem syariah.
Demam syariah juga melanda karyawan dan nasabah bank konvensional. Banyak karyawan bank konvensional mendapat hidayah untuk pensiun dini dari bank konvensional. Tidak hanya di bank-bank BUMN dan BPD, tapi juga di banyak bank swasta. Satu-satu karyawan bank konvensional mengundurkan diri karena soal riba ini.
Lebih seru lagi, banyak nasabah bank konvensional tidak membayar bunga kredit. Katanya bunga kredit riba. Jadi, tidak perlu dibayar, padahal sebelum akad kredit biaya bunga, denda dan pokok sudah disepakati, tapi di sejumlah bank sudah terjadi hal ini.
Namun, apakah demam syariah ini berkorelasi positif dengan kinerja perbankan syariah? Nyatanya, tidak semua bank syariah sehat. Masih banyak yang perlu perbaikan. Kondisinya tidak merata. Namun, potret nasionalnya memang masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan data Infobank Institute, kinerja perbankan syariah cukup berat karena lima tahun terakhir kinerjanya melambat.
Dilihat dari sisi non performing financing (NPF) angkanya masih 3,44%, sementara non performing loan (NPL) bank konvensional 2,4%. Lebih parah lagi pada periode 2017 (4,76%) dan 2016 (4,42%). Tahun lalu NPF perbankan syariah masih lebih besar daripada NPL perbankan konvensional. Daya tahan modal pun kalah dengan perbankan konvensional yang capital adequacy ratio (CAR)-nya 23%, sementara perbankan syariah hanya 19%. Itu semua berimbas pada profitabilitas.
Lima tahun terakhir angka profitabilitas perbankan syariah juga menurun. Jika demikian, harus ada penguatan permodalan, likuiditas, dan efisiensi agar bisa terus tumbuh dan berkembang dan tidak menjadi pemain kedua di Indonesia.
Mengapa kinerja perbankan syariah tidak merata dan masih tertekan? Kabar terakhir dari Bank Muamalat, bank syariah pertama di Indonesia, kinerja semester pertama 2019 labanya melorot 95% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Tahun ini Bank Muamalat hanya mampu mengantongi laba Rp5,08 miliar. Rendahnya laba ini merupakan potret dari lambatnya perolehan pendapatan penyaluran dana, kualitas financing yang mencapai 4,54%. Jangan ditanya jika memasukkan pembiayaan kualitas 2,3,4,5 dan kualitas 1 restrukturisasi. Boleh jadi bisa double digit.
Itulah mengapa penyehatan Bank Muamalat masih terkendala. Angka Rp2 triliun yang disodorkan konsorsium tentu tidak cukup untuk membuat Bank Muamalat lari kencang. Jika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terbuka menjelaskan kebutuhan modal Bank Muamalat, harusnya bank ini perlu perlakuan khusus. Tidak kunjung ada investor yang masuk dengan kebutuhan modal yang lebih besar dari angka Rp2 triliun. Jika lihat angka NPF, tentu angka Rp2 triliun hanya untuk hapus-hapus cuci gelas, belum cukup untuk cuci piring habis pesta yang dilakukan sebelum-sebelumnya.
Menurut catatan Infobank Institute, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan. Satu, masalah governance dalam pengelolaan karena banyak kasus pembiayaan bermasalah disebabkan oleh faktor ini. Dua, menyangkut produk perbankan syariah masih bertumpu pada fungsi bank konvensional biasa (musyarakah). Tidak memaksimalkan fungsi sebagai bank investasi. Tiga, kualitas sumber daya manusia (SDM) yang bahan bakunya dari konvensional masih perlu ditingkatkan. Empat, produk dan service level masih jauh dibandingkan dengan bank konvensional. Lima, menyangkut orientasi bisnisbahwa sistem syariah adalah satu sistem ekonomi yang juga orientasinya bisnis. Di depan harus kelayakan usaha, bukan sekadar halal haram, atau riba dan tidak riba semata. Cara pandang inilah yang menjadi penting.
Potensi berkembangnya perbankan syariah di Indonesia memang relatif besar. Penduduk yang beragama Islam di Indonesia adalah mayoritasdengan dukungan kebijakan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa bunga bank riba. Namun, toh perkembangan perbankan syariah tidak fantastis dari sisi kualitas. Indonesia hanya mampu berada di urutan kesembilan dari 10 negara Islam lainnya, dari sisi aset industri jasa keuangan syariah.
Catatan untuk bank-bank yang hendak melakukan konversi setidaknya harus belajar dari kemunduran kinerja perbankan syariah ini. Bayangkan, sudah bertahun-tahun melakukan praktik konvensional, tiba-tiba harus menjalankan sistem syariah, tentu perlu adaptasi yang lebih. Tidak hanya menyangkut SDM, tapi yang lebih penting adalah soal nasabahnya.
Selain orientasi dan kompetensi bankir syariah dalam mengembangkan perbankan syariah, menurut majalah ini, ada masalah integritas dalam pengelolaan masa lalu. Ada masalah tata kelola dalam pengelolaan perbankan syariah. Pembiayaan bermasalah perbankan syariah lebih banyak menyisakan persoalan.
Harusnya demam syariah ini dijadikan titik balik membangun ekonomi syariah. Namun, itu pun terkadang masih banyak pandangan tentang sumbernya riba atau tidak riba. Harusnya masalah riba dan tidak riba sudah selesai dengan adanya bank syariah dan bank konvensional.
Atau, jangan-jangan, syariah hanya gerakan politik dan agama semata, bukan gerakan ekonomi. Jika demikian, majalah ini percaya ekonomi syariah tidak akan berkembang lebih cepat. Atau, tidak berkembangnya syariah ini karena kelompok yang memercayai ekonomi syariah tidak punya duit untuk dimobilisasi?
Perbankan syariah perlu memperbaiki diri. Demam syariah harusnya bisa membuat kinerja tumbuh lebih baik, dan bukan sekadar demam pada tataran religius semata. Plus, harusnya ekonomi syariah itu juga rasional, yang juga menguntungkan semua pihak. (*)
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Infobank