Jakarta – Sebagai investor cryptocurrency, Anda mungkin pernah mengetahui tentang harga Solana yang memiliki kenaikan signifikan hingga 1.000 persen dari akhir 2023 hingga awal 2024. Namun, apakah Anda bertanya-tanya mengapa harga token atau koin sangat fluktuatif?
Untuk memahami pergerakan harga koin atau token crypto yang fluktuatif, salah satu hal penting untuk diketahui adalah konsep tokenomics yang mendasarinya, terutama dalam konteks deflationary tokenomics dan inflationary tokenomics.
Kedua model ini memiliki dampak yang signifikan terhadap harga dan nilai sebuah token dalam jangka panjang. Lalu, mana yang lebih baik antara keduanya?
Apa Itu Tokenomics?
Tokenomics adalah gabungan dari kata “token” dan “economics,” yang secara sederhana mengacu pada cara sebuah token kripto didesain untuk beroperasi dalam ekosistem blockchain. Ini mencakup bagaimana token didistribusikan, bagaimana supply-nya dikelola, dan bagaimana insentif diatur untuk pengguna maupun validator dalam jaringan.
Ada dua pendekatan utama dalam tokenomics, deflationary dan inflationary. Keduanya menentukan bagaimana supply token dipertahankan dan berkembang dari waktu ke waktu.
Deflationary Tokenomics
Deflationary tokenomics adalah model ekonomi di mana jumlah total token yang beredar akan berkurang seiring waktu. Mekanisme utama yang digunakan adalah burning (pembakaran) token, di mana sejumlah token dihapus secara permanen dari peredaran.
Pengurangan jumlah token ini bertujuan untuk meningkatkan kelangkaan, sehingga harga token cenderung naik jika permintaan tetap atau meningkat.
Baca juga: Platform Kripto Indodax Diduga Kena Hack, Bagaimana Nasib Dana Investor?
Keuntungan Deflationary Tokenomics
Pertama, meningkatkan nilai dari waktu ke waktu. Dengan supply yang berkurang, kelangkaan token meningkat, yang pada akhirnya mendorong harga naik. Hal ini menciptakan potensi keuntungan jangka panjang bagi para investor.
Kedua, insentif untuk menahan (HODL). Pasalnya, supply yang menurun, pemilik token memiliki insentif untuk mempertahankan token mereka, dengan harapan harga akan terus meningkat seiring berjalannya waktu.
Ketiga, mekanisme burning. Beberapa token memiliki mekanisme burning otomatis yang menghapus sebagian token dari supply setiap kali transaksi dilakukan. Ini menjadi strategi yang efektif untuk memastikan jumlah token yang beredar tidak terus bertambah.
Token seperti BNB dan Shiba Inu adalah contoh dari deflationary tokenomics. BNB memiliki mekanisme burning reguler yang terus mengurangi supply dari total jumlah token yang beredar, sehingga harga BNB mengalami peningkatan seiring waktu.
Inflationary Tokenomics
Sebaliknya, inflationary tokenomics adalah model di mana supply token terus bertambah dari waktu ke waktu. Ini berarti lebih banyak token akan diciptakan, biasanya melalui proses mining atau staking, yang menambah jumlah token yang tersedia di pasar.
Keuntungan Inflationary Tokenomics
Pertama, mendukung jaringan yang berkelanjutan. Dengan menciptakan token baru, inflationary tokenomics membantu menjaga keberlanjutan jaringan blockchain. Validator dan miner yang berkontribusi dalam pengamanan dan operasional jaringan akan diberi insentif melalui token baru.
Kedua, meningkatkan partisipasi.
Ketika ada peluang untuk mendapatkan token baru melalui staking atau mining, lebih banyak pengguna akan terlibat dalam ekosistem blockchain. Ini dapat memperkuat keamanan dan stabilitas jaringan.
Ketiga, distribusi token yang lebih merata.
Model ini memastikan bahwa token baru terus didistribusikan kepada pengguna baru, mencegah penumpukan token pada segelintir pihak saja.
Contoh token dengan inflationary tokenomics adalah Ethereum sebelum penerapan Ethereum 2.0. Token baru terus diciptakan melalui proses mining, meskipun dengan transisi ke Proof of Stake, inflasi ini cenderung menurun.
Mana yang Lebih Baik?
Untuk menentukan mana yang lebih baik antara deflationary dan inflationary tokenomics, Anda harus mempertimbangkan tujuan dan preferensi Anda sebagai investor atau pengguna token. Masing-masing model memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri.
Jika Anda mencari investasi jangka panjang dan mengharapkan harga token akan naik seiring waktu, maka deflationary tokenomics bisa menjadi pilihan yang tepat. Karena supply yang berkurang, token ini lebih mungkin untuk menciptakan kelangkaan yang dapat mendongkrak nilai. Deflationary token cocok untuk Anda yang ingin menahan token dalam jangka panjang dan berharap mendapat keuntungan dari kenaikan harga.
Baca juga: Kehadiran ETF ETH dan ETF Bitcoin Spot Bikin Investasi Kripto Makin Cuan
Jika tujuan Anda adalah partisipasi aktif dalam jaringan, misalnya melalui staking atau mining, maka inflationary tokenomics lebih cocok. Meskipun supply token bertambah, inflasi ini diperlukan untuk menjaga jaringan tetap berjalan dengan baik. Model ini memberikan insentif kepada pengguna yang berkontribusi pada keberlanjutan jaringan.
Namun, ada risiko bahwa inflasi yang terlalu tinggi dapat menurunkan nilai token jika permintaan tidak seimbang dengan supply yang terus bertambah. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan bagaimana inflasi dikendalikan dalam sebuah ekosistem.
Tidak ada jawaban pasti tentang mana yang lebih baik antara deflationary dan inflationary tokenomics. Kedua model ini memiliki tujuan dan aplikasi yang berbeda, tergantung pada jenis proyek kripto dan preferensi investor.
Deflationary tokenomics menawarkan potensi kenaikan nilai jangka panjang dengan supply yang berkurang, sedangkan inflationary tokenomics lebih cocok untuk mereka yang ingin berkontribusi aktif dalam ekosistem blockchain dan menerima imbalan dari partisipasi.
Jika Anda tertarik untuk memulai investasi dalam koin atau token kripto, termasuk token yang menggunakan model deflationary atau inflationary, Anda bisa membeli koin tersebut di Tokocrypto, salah satu platform trading kripto populer di Indonesia yang menawarkan berbagai pilihan aset digital. Pastikan untuk selalu melakukan riset sebelum membuat keputusan investasi agar sesuai dengan tujuan finansial. (*)