Debt Collector Itu Ekosistem Leasing, Menkomdigi Harus Bekukan Iklan “STNK Only” yang Jadi “Biang Kerok”

Debt Collector Itu Ekosistem Leasing, Menkomdigi Harus Bekukan Iklan “STNK Only” yang Jadi “Biang Kerok”

Oleh Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank Media Group

DUA debt collector tewas di Kalibata. Sang debt collector dikeroyok polisi aktif hingga tewas. Lalu, Kalibata terbakar. Warung-warung UMKM yang tak bersalah pun kena dampak buruk, karena aksi balas dendam. Sementara jual beli kendaraan “STNK Only” masih tetap marak — yang juga berdampak buruknya pada penagihan kendaraan oleh debt collector.

Hari-hari ini tugas penagih utang makin sulit dan bertaruh nyawa. Selain kendaraan sudah berpindah tangan. Tapi, sudah lama ada fenomena tentang “beking” atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menjadi penjamin para penunggak leasing (perusahan pembiayaan). Mereka itu memungut semacam biaya agar tidak ditarik kendaraannya.

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari peristiwa terbakarnya Kalibata? Sebelum menjawab pertanyaan sederhana ini, ada baiknya menduduksoalkan tentang debt collector. Selama ini debt collector itu menjadi pahlawan perusahaan leasing. Bayangkan. Tanpa debt collector hampir pasti perusahaan pembiayaan akan lumpuh. Jika perusahaan leasing lumpuh, maka bank sebagai pemberi kredit ke perusaaan pembiayaan juga akan “terbakar” non performing loan (NPL). Perusahaan otomotif akan “loyo” tak banyak lagi pembeli yang sekitar 70-80 persen lewat perusahaan leasing.

Jelas dari sini, debt collector merupakan bagian dari ekosistem perusahaan pembiayaan. Ada perusahaan leasing yang memberikan pembiayaan ke debitur, jika terjadi kemacetan dilakukan penarikan. Sebab, jika perusahaan pembiayaan membiarkan kendaraan yang macet, harus segera ditarik. Jika tidak segera ditarik maka kendaraan akan makin turun nilainya.

Berbeda dengan bank yang memegang jaminan tanah dan gedung yang nilainya semakin meningkat (apresiasi). Sedangkan di pihak multifinance atau leasing, jika kendaraan yang macet, dan tidak segera ditarik akan menurunkan nilai kendaraan (depresiasi). Wajar saja multifinance segera jaminannya dapat ditarik. Itu karena jaminan berupa kendaraan yang asetnya terus turun.

Apalagi, kendaraan yang macet itu sudah berpindah tangan. Tidak sedikit kendaraan yang belum lunas sudah berpindah tangan. Padahal tindakan berpindah tangan ini sebuah kejahatan. Kasus yang pernah terjadi di Tangerang, beberapa waktu lalu, di mana terjadi penyekapan atas penjual dari menjual membeli dan menjual hanya bermodal “STNK Only”. Dan, ternyata kendaraannya belum lunas.

Tidak hanya kasus itu. Tahun 2023 lalu, kasus Clara Shinta-Dona Maradona yang sempat mencuat. Waktu itu kendaraan ada di Clara Shinta, tapi status kepemilikan masih atas nama Dona Maradona. Ramai, viral. Tapi, intinya terjadi perpindahan kendaraan tanpa sepengetahuan pihak perusahaan pembiayaan.

Hari-hari ini debt collector telah digambarkan sebagai sosok yang menakutkan. Bahkan, Kapolda Metro Jaya pun menjadikan debt collector sebagai profesi yang harus ditumpas. Premanisme debt collector harus ditumpas habis. Sudah meresahkan masyarakat Jakarta. Sebelumnya, tahun 2021 Pangdam Jaya juga menyatakan demikian. Juga, sebelumnya di tahun yang sama, para Gubernur di beberapa daerah juga mengibarkan benderang perang terhadap debt collector, seperti Gubernur Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Di daerah-daerah keberadaan debt collector juga menjadi bulan-bulanan masyarakat. Bahkan, ada banyak debt collector yang nyawanya melayang akibat disiksa masyarakat. Padahal, keberadaan debt collector merupakan bagian dari ekosistem industri multifinance. Juga, industri perbankan. Bayangkan, jika keberadaan tukang tagih ini tidak ada, maka leasing yang sebagian besar menggunakan uang bank akan remuk.

Tapi benar ada ekses dalam eksekusi jaminan. Industri multifinance menggunakan jasa pihak ketiga untuk menarik kendaraan bermotor (roda dua dan empat) tentu ingin segera motornya kembali, setelah debitur macet. Perusahaan leasing punya cara untuk menyelesaikan ini.       

Tragedi Kalibata – di mana ada penarikan paksa kendaraan yang oleh debt collector yang berujung pada kematian dua sang penagih utang. Di sisi lain — tiap hari leasing melakukan eksekusi terhadap debitur yang macet. Penarikan kendaraan biasa terjadi. Dan, kalau tidak mau ditagih ya harus melunasi kewajibannya. Jika belum punya uang bisa kooperatif.

Beking LSM dan Maraknya Jual Beli “STNK Only”

Menurut pemantauan Infobank, saat ini banyak kendaraan yang berpindah tangan. Ada kendaraan, tapi sudah berpindah tangan. Juga, ada kendaraan sudah tidak lengkap kondisinya. Bahkan, ada orangnya tak ada kendaraannya. Perusahaan multifinance seperti pihak yang bersalah jika berburu kendaraan. Padahal, sebelum lunas kendaraan itu masih milik perusahaan multifinance.

Itulah pentingnya keberadaan debt collector. Apalagi, keberadaan debt collector yang kini harus bersertifikasi dan mendapatkan kuasa dari perusahaan leasing tentu sah. Namun juga harus diakui debt collector sering menimbulkan ekses ketika menarik kendaraan di lapangan. Namun jika debiturnya tidak sontoloyo, tentu tidak akan terjadi. Misalnya, jika nasabah macet dan tetap kooperatif tentu tidak akan terjadi penarikan paksa.

Kasus tewasnya dua debt collector yang berujung pada pembakaran harusnnya tak terjadi jika kendaraan yang macet itu diserahkan. Sebab, kalau kreditnya lancar, dan kalau toh macet, debitur bisa berbicara kepada perusahaan pembiayaan. Jika sudah ada debt collector di lapangan hampir pasti debiturnya sudah masuk kategori “sontoloyo”. Sulit dihubungi, dan main kabur-kabur.

Bahkan, ada beberapa debitur “sontoloyo” yang macet itu berlindung ke LSM. Mereka sudah merasa “aman” tidak membayar. Para pihak penegak hukum tahu betul keberadaan LSM ini. Bahkan, ada pihak LSM menerapkan tarif jika terjadi penarikan kendaraan. Banyak “uang jago” terjadi di pasar gelap dalam penarikan kendaraan. Jadi, jangan salahkan leasing jika bunganya tinggi, karena risiko sangat besar yang dibebankan ke nasabah.

Sedangkan yang sedang marak saat ini adalah penjualan kendaraan tanpa Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB). Hanya “STNK Only”. Padahal, membeli hanya mendapatkan “hak pakai” semu, tanpa “hak milik” yang diakui hukum. Ini adalah bom waktu. Bahkan, bisa membahayakan baik penjual maupun pembeli, seperti kasus yang belakangan ini terjadi di Tangerang dengan penculikan. 

Praktik jual beli “STNK Only” tidak hanya ilegal. Akan tetapi juga menyimpan dampak buruk yang sangat luas, baik bagi masyarakat, industri pembiayaan, perbankan, asuransi maupun perekonomian nasional. Sayangnya praktik ini dibiarkan oleh semua pihak. Padahal, bahaya nyata dan laten pun telah berlangsung dari transaksi “STNK Only” ini.

Selama ini, dalam transaksi kendaraan yang sah, penyerahan BPKB adalah keharusan. BPKB adalah bukti kepemilikan kendaraan yang sah di mata hukum. Sementara STNK hanya menunjukkan bahwa kendaraan tersebut terdaftar dan dikenai pajak. Praktik “STNK Only” seringkali mengindikasikan bahwa kendaraan masih dalam status dibiayai oleh perusahaan pembiayaan (leasing), atau bahkan merupakan hasil tindak pidana.

Itu salah satu kasus dari banyak kasus yang terjadi. Menurut Infobank Institute, paling tidak punya dampak buruk bagi masyarakat. Yaitu, rugi materi dan hukum bagi pembeli yang tidak sadar dapat terjerat dalam jerat pidana. Pasal 480 KUHP tentang penadahan dapat dikenakan kepada pembeli, sementara penjual dapat dijerat dengan Pasal 36 UU Jaminan Fidusia. Pendek kata, masyarakat menjadi korban dua kali: kehilangan uang, dan berhadapan dengan hukum.

Bagaimana Mengatasi “Setan Gundul”?

Praktik “STNK Only” bukanlah solusi, melainkan masalah sistemik yang harus diatasi secara kolektif. Satu, perlu kembali melakukan edukasi. Dan, targetnya, masyarakat. Masyarakat harus diedukasi bahwa membeli kendaraan tanpa BPKB adalah tindakan berisiko tinggi. Transaksi kendaraan harus dilakukan melalui jalur resmi, dengan dokumen lengkap.

Dua, kembali pada penegakan hukum yang tegas. Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), serta Kepolisian, harus bertindak tegas menutup akun-akun media sosial yang mengiklankan praktik ilegal ini. UU ITE dan peraturan turunannya harus ditegakkan. Sayangnnya, Kementerian Komdigi masih menutup mata atas iklan-iklan di media sosial (medsos) yang makin semarak.

Tidak ada kata lain saat ini, untuk mengurangi ekses buruk dalam penagihan kendaraan yang macet, Kementerian Komdigi harus aktif memberangus iklan-iklan yang tidak sesuai aturan. Jika perlu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat laporan tentang maraknya jual beli “STNK Only” ini. Praktik jual beli kendaraan “STNK Only“ harus dihentikan.

Pelajaran penting agar kasus debt collector yang terjadi di Kalibata tidak terulang, maka harus dihentikan dari sisi hulunya. Selain, membereskan para beking “debitur sontoloyo’ – yang tidak membayar dan kooperatif, maka LSM harus disadarkan tentang langkah jahatnya dengan melindungi “debitur sontoloyo”.

Itu saja tidak cukup, menutup iklan-iklan medsos dengan menawarkan “STNK Only” adalah langkah preventif yang cerdas. Mengapa Kementerian Komdigi sampai sekarang diam saja? Apakah ia tidak peduli akan bahayanya melanggar hukum ini? Apakah ia tak tahu tugasnya?

Jujur. Debt collector itu ekosistem leasing. Tapi jual beli kendaraan “STNK Only” dan beking “LSM” itu “biang kerok.” Harus dihentikan jika tidak ingin kasus Kalibata akan terulang lagi. Atau, memang sengaja dibiarkan sehingga menjadi “pasar gelap” penagihan. Nah, jika itu terjadi, sesungguhnya Indonesia sengaja melemahkan daya dorong perusahaan pembiayaan untuk berperan menciptakan lapangan kerja – yang sekarang dibutuhkan.

Dan, jika ini terus berlangsung, maka “malaikat” pun juga akan sulit menagih utang, karena terus membiarkan “setan gundul” bermain di “pasar gelap” penagihan.

Related Posts

News Update

Netizen +62