Dawn of the Solar Age

Dawn of the Solar Age

Oleh Cyrillus Harinowo, Komisaris Independen Bank Central Asia

BEBERAPA bulan yang lalu, majalah The Economist membuat suatu cover story berjudul “Dawn of the Solar Age”. Ini sebuah artikel yang sangat menarik terkait dengan perkembangan solar energy yang sangat pesat dewasa ini. Pertumbuhannya sampai 10 kali lipat setiap 10 tahun dalam beberapa dasawarsa terakhir.  Dan, itu ternyata masih terus akan berlanjut. Bahkan, kata “dawn” seakan menggambarkan bahwa posisi industri solar energy saat ini masih baru pada tahap permulaan dan dengan pertumbuhan yang masih akan tetap eksponensial. 

Solar energy pertama kali dikembangkan dalam bentuknya yang sekarang, yaitu menggunakan silicon, sebetulnya sudah berlangsung selama 70 tahun lebih. Penemuan pertama kali untuk energi ini dilakukan oleh Bell Laboratories dari perusahaan telepon Amerika Serikat (AS) yaitu AT&T. Awalnya tujuan mereka sederhana, yaitu menggantikan peranan baterai yang menggerakkan peralatan mereka di tempat-tempat yang jauh dari mana-mana, menjadi tenaga yang bisa dihasilkan oleh matahari. 

Meskipun demikian, perkembangan yang terjadi ternyata di luar mimpi mereka. Awalnya pemerintah AS sangat mendorong perkembangan industri energi matahari tersebut. Namun, pada saat pemerintahan Presiden Reagan, industri perminyakan memperoleh dukungan yang lebih besar. Akibatnya perkembangan industri solar panel di AS mengalami perlambatan. 

Adalah pemerintah Jerman yang akhirnya mengambil alih peran tersebut dengan mendorong pengembangan industri solar energy ini dengan membuat kebijakan yang disebut “Energiewende” di 2000. Pemerintah menetapkan suatu insentif perpajakan dan juga memperkenalkan “feed-in tariff” bagi mereka yang memproduksi listrik dengan menggunakan energi matahari sehingga akhirnya terjadi loncatan pertumbuhan industri panel surya (solar panel) di negara tersebut. Peningkatan skala produksi industri solar energy tersebut menjadikan harga listrik dari energi tersebut mengalami penurunan yang tajam. 

Pemerintah Tiongkok pada akhirnya mengambil alih momentum pertumbuhan industri tersebut dan mengembangkannya secara besar-besaran, terutama di daerah gurun pasir Xinjiang yang menghasilkan batu bara yang murah bagi pengembangan industri solar panel ini. Dewasa ini, setiap tahunnya produksi solar panel di Tiongkok sudah lebih besar daripada seluruh produksi solar panel di luar Tiongkok. 

Perkembangan inilah yang akhirnya makin mempercepat penurunan harga listrik yang diproduksi oleh solar panel di seluruh dunia. Dengan mengunakan data dari Majalah Avenston dari Ukraina yang memuat artikel berjudul “History of Solar Energy Prices” dikatakan bahwa harga harga solar panel di tahun 1975 adalah sebesar USD115,3 untuk setiap wattnya. Pada tahun 2010, harga solar panel ini sudah turun sangat signifikan menjadi USD2,15 per watt. 

Sementara, pada tahun 2021, harganya menurun lagi menjadi US$0,27 per watt. Dalam 10 tahun terakhir, harga solar panel per wattnya mengalami penurunan sebesar 90 persen. Perkembangan inilah yang digambarkan sebagai tanda munculnya zaman solar energy di seluruh dunia.

Cerita Menarik dari Singapura

Perkembangan sumber tenaga matahari tersebut menarik perhatian pemerintah Singapura yang pada tahun 2035 akan mengalami situasi kehabisan gas yang selama ini menggerakkan pembangkit listrik mereka. Gas yang disuplai ke negara tersebut berasal dari Grissik-Pagardewa di Sumatera Selatan yang dialirkan dengan menggunakan pipa melewati Dumai dan Batam. Demikian juga gas bumi dari Natuna disalurkan ke negara tersebut dengan menggunakan pipa. 

Kontrak penjualan gas ke negara tetangga tersebut sebetulnya habis masa berlakunya di tahun 2023 tetapi kemudian diperpanjang lima tahun menjadi 2028. Meskipun demikian, perpanjangan tersebut dilakukan dalam volume gas yang berkurang karena pemerintah Indonesia makin memprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan domestiknya. Mereka memperkirakan bahwa pada tahun 2035 mereka harus memikirkan sumber energi lain untuk memenuhi kebutuhan listrik negaranya. 

Dengan adanya Paris Agreement tahun 2015 yang mendorong penggunaan renewable energy, pemerintah Singapura pun mendekati pemerintah Indonesia untuk menyuplai energi hijau tersebut. Pertemuan antara kedua pemimpin negara pun dilakukan. Pertemuan antara mantan Presiden Jokowi dan PM Lee Hsien Loong untuk membahas masalah tersebut dilakukan di Istana Bogor pada 29 April 2024. 

Dalam pertemuan tersebut, pemerintah Singapura mengatakan akan membutuhkan tenaga listrik sebesar 4.000 MW, yang separuhnya diharapkan bisa dipenuhi oleh Indonesia. Jika Indonesia akan memenuhi kebutuhan tersebut, maka kebutuhan listrik sebesar 2.000 MW yang bersifat terus-menerus yang diminta Singapura selama 24 jam tersebut memerlukan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Indonesia sebesar 11.000 MWp. Solar energy ini akan dipenuhi dari beberapa pulau kecil di sekitar Singapura, yaitu Pulau Bulan, Pulau Lumba Besar, Danau Duriangkang di Pulau Batam, dan juga beberapa pulau lainnya. 

Untuk mengonversi tenaga listrik dari PLTS yang bersifat intermittent tersebut (hanya sekitar 4 jam per hari) menjadi tenaga listrik yang kontinu diperlukan baterai yang kapasitasnya sebesar 19.000 MWh. Baterai (istilah teknisnya energy storage system) sebesar ini lebih kurang sama dengan baterai yang dipergunakan oleh 327.000 mobil Ioniq5 (yang menggunakan baterai sebesar 58 KWh) secara bersamaan. 

Suplai tenaga listrik hijau dari kepulauan Riau ke Singapura tersebut sebetulnya merupakan kelanjutan dari konsep pengembangan PLTS di Australia Utara yang semula ditawarkan kepada pemerintah Singapura yang listriknya nantinya disalurkan lewat kabel laut melalui perairan Indonesia dengan panjang kabel sekitar 4.000 km. Pemikiran ini mulai menghilang setelah konsep pengembangan energi hijau di Kepulauan Riau dihidupkan. Namun, jika pengembangan energi hijau di Riau terhambat, saya yakin pemikiran untuk memperoleh listrik dari Australia tersebut akan menguat lagi. 

The Next Big Things untuk Indonesia 

Baru-baru ini, saya mengikuti suatu program pendidikan eksekutif Asean Global Leadership Program yang diselenggarakan bekerja sama dengan Cheung Kong Graduate School of Business di Beijing, dari 4 sampai dengan 8 November 2024. Sekolah ini dikenal sebagai sekolahnya para CEO dari Tiongkok, termasuk Jack Ma yang juga mengenyam pendidikan di sini. 

Dari program tersebut, “take away” yang sangat menarik bagi saya adalah pesan dari seorang guru dari sekolah tersebut, yang mengatakan bahwa “the next big things for Indonesia are solar energy and hydrogen”. Kebetulan dua hal tersebut sangat menarik perhatian saya dalam beberapa tahun terakhir ini. Pesan dari profesor tersebut mendorong saya untuk mencoba mencari tahu lebih lanjut prospek pengembangan industri solar energy tersebut di Indonesia dan juga kaitannya dengan pengembangan industri hidrogen. 

Dalam perbincangan dengan para pejabat Kementerian Perindustrian, ternyata pengembangan solar energy di Indonesia sudah berkembang lumayan cepat. Mereka memiliki daftar investasi berbagai perusahaan di industri ini yang terdapat di berbagai kota di Indonesia. Terdapat beberapa sentra pengembangan industri ini yang dewasa ini lumayan cepat perkembangan investasinya dan diperkirakan akan menghasilkan produksi yang lumayan besar. Kementerian Perindustrian sangat mendorong pengembangan industri yang berkaitan dengan energi hijau sesuai dengan pesan tegas dari Paris Agreement 2025. 

Secara terpisah, saya bahkan mengunjungi beberapa tempat yang berkaitan dengan industri energi matahari tersebut. Di pertengahan 2024 yang lalu, saya mengunjungi Kawasan Industri Gresik (JIIPE) yang dikembangkan oleh PT AKR yang terdapat pabrik yang dibangun oleh Xinyi, sebuah perusahaan dari Hong Kong/Tiongkok. Perusahaan ini memproduksi kaca untuk industri/konstruksi, namun juga waktu itu sedang membangun pabrik yang akan memproduksi kaca khusus untuk solar panel. Tahun 2025 ini mestinya pabrik tersebut sudah mulai beroperasi dan memproduksi kaca tersebut. 

Dalam hal industri solar panel, selain SEG Solar yang dibangun di Kawasan Industri Batang dengan kapasitas 5 GW, terdapat pabrik yang dibangun oleh PT Trina Mas Agra Indonesia yang merupakan kerja sama antara Sinarmas Group dan PT Indonesia Power serta Trina dari Tiongkok. Pabrik tersebut berlokasi di Kendal Industrial Park yang dibangun PT Jababeka dan Sembawang Corporation. 

Pada saat saya mengunjungi pabrik tersebut, pabrik sudah selesai dibangun, mesin sudah terpasang, dan sangat mungkin saat penulisan artikel ini pabrik tersebut sudah beroperasi. Pabrik tersebut memiliki kapasitas 1 GW solar panel yang di tahun mendatang sudah dipersiapkan untuk melakukan ekspansi menjadi 3 GW. PT Trina Mas mengatakan bahwa TKDN-nya bisa meningkat jika solar glass-nya bisa diperoleh dari Indonesia dan tidak diimpor. Hal inilah yang bisa diisi oleh Xinyi Solar Glass dari Gresik. 

Selain itu, industri panel surya dan sel surya berkembang di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Beberapa perusahaan panel surya di Batam sudah melakukan ekspor ke AS, seperti PT IDN Solar Tech, PT Apollo Solar Indonesia, dan PT Atelier Solar Indonesia. Saat ini, di Batam juga sudah ada perusahaan yang memproduksi sel surya dengan kapasitas produksi mencapai 3 GW, yaitu PT Nusa Solar Indonesia. 

Kebangkitan industri solar energy ini pada akhirnya juga akan memanfaatkan produk silika dari Indonesia yang cadangannya sangat melimpah. Xinyi dari Gresik mengatakan bahwa bahan baku utama mereka adalah silika dan itu bisa dipenuhi dari Indonesia. Jika Indonesia dikenal sebagai produsen nikel terbesar didunia, bukan tidak mungkin Indonesia juga akan tampil sebagai pemain penting dalam industri silika dunia. Perkembangan ini menguatkan optimisme saya atas prospek ekonomi Indonesia jangka menengah dan panjang.

Catatan: Terima kasih untuk kontribusi Bapak Febri Hendri, Staf Khusus Menteri Perindustrian

Related Posts

Top News

News Update