Dari Panas Bumi ke Blockchain: Indonesia Siap Jadi Raja Bitcoin Asia?

Dari Panas Bumi ke Blockchain: Indonesia Siap Jadi Raja Bitcoin Asia?

Oleh Liz Dewayanti, analis keuangan dan mantan bankir

INDONESIA tengah duduk di atas potensi ekonomi digital raksasa yang belum tersentuh. Di saat negara-negara maju berlomba mengatur ulang peta keuangan digital, Indonesia memiliki satu keunggulan besar yang belum banyak dibicarakan: cadangan energi terbarukan yang melimpah – dan sangat cocok untuk industri penambangan Bitcoin. Ini bukan sekadar soal kripto. Ini adalah cerita tentang energi, inovasi, dan peluang yang bisa mengubah wajah ekonomi Indonesia.

Penambangan Bitcoin adalah tulang punggung jaringan blockchain Bitcoin. Proses ini menjaga sistem tetap berjalan, aman, dan terdesentralisasi dan berkelanjutan. Namun, di balik hal tersebut, penambangan adalah bisnis sangat tough, yang profitability-nya banyak ditentukan oleh harga energi, sebagai bagian terbesar dari “biaya produksi” Bitcoin.

Pada dasarnya, penambangan adalah cara penciptaan Bitcoin baru dan validasi transaksi. Para penambang bersaing untuk memecahkan persoalan matematika yang rumit menggunakan komputer khusus. Siapa yang pertama menyelesaikannya akan menambahkan “blok” baru ke blockchain dan mendapatkan imbalan berupa Bitcoin.  

Proses penambangan ini memerlukan tenaga listrik yang sangat besar. Listrik adalah biaya operasional terbesar dari kegiatan penambangan Bitcoin. Karena sumber energi berbasis karbon mahal dan banyak dikritik karena carbon print-nya, maka sumber energi murah, stabil, dan terbarukan sangat penting agar penambang tetap bertahan.

Baca juga: Transformasi “Emas Digital” Bitcoin: dari Aset Spekulatif Menjadi Aset Strategis

Oleh karena itu, lokasi penambangan sangat bergantung pada kedekatannya dengan sumber energi. Lokasi yang dekat dengan sumber panas bumi, air, atau energi terbuang atau tidak terpakai (seperti yang ditemukan di beberapa bagian Indonesia) sangat ideal. Di sinilah Indonesia, dengan kekayaan sumber energi terbarukan, memiliki peluang besar sebagai the most promising next Bitcoin mining hub.

Mengapa ini penting sekarang?Penambangan Bitcoin bukan lagi sekadar permainan spekulan digital. Ini telah menjadi industri strategis bernilai miliaran dolar – dengan potensi penciptaan lapangan kerja, membangun infrastruktur digital, dan menarik investasi asing. Adopsi Bitcoin yang makin cepat oleh negara, institusi, dan korporasi global, makin menegaskan posisi Bitcoin dan sekaligus menegaskan juga pentingnya aktivitas penambangan ini.

Lalu, apa competitive advantage Indonesia dibandingkan dengan pusat penambangan Bitcoin yang sudah ada selama ini, seperti Texas, Kazakhstan, and Islandia?

Keunggulan utama, seperti telah disinggung di atas adalah cadangan energi terbarukan yang berlimpah ruah. Saat ini Indonesia memiliki potensi clean and renewable energy 30 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan Islandia, dengan “untapped reserve” yang sangat besar. Indonesia mempunyai sekitar 40% cadangan panas bumi dunia dan potensi tenaga air hingga 95 GW, dengan pemakaian, per posisi 2023, hanya sebesar lebih kurang 7 persen.

Cadangan energi panas bumi (geothermal) adalah sebesar 29 GW, hanya terpakai sebesar 2,3 GW. Sementara, tenaga air (hydropower) tersedia sebesar 75-90 GW, hanya terpakai sebesar 7 GW.

Hal lainnya adalah posisi Indonesia secara geografis yang strategis. Berada di wiayah tropis, Indonesia bebas dari risiko musim dingin ekstrem yang menghambat pasokan listrik ke fasilitas penambangan seperti yang pernah terjadi di Texas atau Kazakhstan. Selain itu, secara demografis, Indonesia mempunyai apa yang sering disebut-sebut sebagai bonus demografi, yaitu penduduk berusia muda yang sangat bisa disiapkan menjadi pekerja maupun “konsumen digital”.

Apa Dampaknya bagi Indonesia?

Dari Papua hingga Kalimantan, hadirnya tambang Bitcoin bisa menjadi pemicu modernisasi, antara lain adalah perluasan jaringan listrik, pembangunan infrastruktur internet cepat, pembukaan ribuan lapangan kerja baru, dan mengubah surplus energi yang tak terpakai  menjadi ekspor aset digital bernilai tinggi (BTC). Saat ini, Indonesia menghasilkan lebih banyak energi daripada yang dikonsumsi di beberapa wilayah. Surplus energi tersebut terbuang percuma – atau lebih buruk lagi, tidak pernah dimanfaatkan karena keterbatasan infrastruktur transmisi.

Penambangan Bitcoin memungkinkan surplus ini dimonetisasi langsung di lokasi. Hal ini mengubah kelebihan listrik menjadi aset digital yang dapat diperdagangkan secara global (BTC), menciptakan nilai ekspor dari energi yang sebelumnya tidak menghasilkan apa-apa.

Baca juga: Transaksi Kripto Maret 2025 Capai Rp32,45 Triliun, Jumlah Pengguna 13,71 Juta

Peningkatan foreign direct investment (FDI) adalah dampak positif yang akan paling terasa langsung. Negara-negara seperti Kazakhstan dan El Salvador mengalami lonjakan investasi asing setelah membuka diri terhadap aktivitas penambangan. Indonesia berpotensi menarik investasi global dari perusahaan penambangan Bitcoin yang ingin berekspansi, investor data center, perusahaan energi yang mencari kemitraan di sektor kripto, serta modal ventura di infrastruktur blockchain.

Hal lain yang tak kalah penting, dan mungkin terpenting bagi masa depan Indonesia adalah kedaulatan strategis di era digital. Dengan memberikan peluang pengembangan ekosistem penambangan Bitcoin, Indonesia juga bisa memperkuat startup blockchain lokal, memperbanyak institusi pendidikan yang menawarkan pelatihan fintech dan kriptografi, serta sektor pengembangan perangkat lunak dan AI.

Penambangan bisa menjadi pintu masuk menuju inovasi digital yang lebih luas, memberi Indonesia keunggulan kompetitif dalam ekonomi digital. Kendali atas infrastruktur digital, terutama node dan kapasitas penambangan Bitcoin, akan membuat Indonesia mempunyai “suara” yang strategis dalam sistem jaringan Bitcoin yang terdesentralisasi. 

Related Posts

News Update

Netizen +62