Jakarta – Bank Indonesia (BI) baru saja menerapkan Giro Wajib Minimum yang wajib dipenuhi secara rata-rata (GWM Averaging). Aturan ini dinilai memberi keleluasaan bagi perbankan dalam mengelola likuiditasnya, karena dana yang disimpan di bank sentral tidak dihitung harian.
Kebijakan ini diyakini akan berdampak positif baik bagi bank besar, menengah dan kecil. Di mana, penerapan GWM Averaging yang sudah mulai berlaku 1 Juli 2017 ini dapat menjadi fasilitas likuiditas tambahan bagi perbankan untuk meningkatkan penyaluran kreditnya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan, bahwa implementasi GWM Primer rata-rata ini merupakan bagian dari reformulasi kerangka operasional kebijakan moneter Bank Indonesia dalam meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter.
“GMW merupakan best practice yang diterapkan oleh bank sentral di dunia dimana survei menunjukkan bahwa dari 113 negara, 92 negara (81 persen) sudah menerapkan GWM rata-rata,” ujarnya kepada wartawan, Jakarta, Kamis, 6 Juli 2017.
Bagi bank besar, implementasi GWM Averaging membuka peluang untuk penempatan ke tenor yang lebih panjang guna meningkatkan efisiensi pengelolaan likuiditas. GWM Averaging juga meredam gejolak likuiditas dari ketidakpastian timing dan besaran aliran dana nasabah sehingga dapat mengurangi tekanan volatilitas suku bunga PUAB.
Sementara bagi bank kecil, khususnya dengan likuiditas terbatas, kata dia, penerapan GWM Averaging akan bermanfaat untuk mengurangi guncangan likuiditas. Jika memiliki likuiditas berlebih, bank dapat memanfaatkan untuk mencukupi perkiraan kebutuhan likuiditas yang meningkat pada hari lainnya.
“Meskipun dampak nya diperkirakan marginal pada tambahan likuiditas bank, namun GWM rata-rata yang utama adalah memberikan fleksibilitas perbankan dalam mengelola likuiditas yang pada akhirnya mendorong efisiensi perbankan,” tukasnya.
Selain itu, GWM rata-rata juga akan mendorong pendalaman pasar keuangan, di mana kebijakan ini diyakini akan memperpanjang tenor di Pasar Uang Antar Bank serta mendorong transaksi repo.
“Bagi bank-bank dengan kondisi likuiditas yang terbatas, justru didorong untuk melakukan transaksi repo antar bank. OJK juga sebelumnya sudah meluncurkan Global Master Repurchase Agreement (GMRA) yang menjadi landasan pelaksanaan transaksi repo, sehingga mendorong pendalaman pasar keuangan,” ungkapnya.
Menurutnya, sudah ada 74 bank yang menandatangani GMRA tersebut. Dengan demikian kondisi likuiditas perbankan pun menjadi semakin manageable yang pada akhirnya dapat mengoptimalkan fungsi intermediasi perbankan dalam rangka penyaluran kredit.
“Data menunjukkan bahwa kondisi likuiditas perbankan pun cenderung terkendali dengan rasio alat Likuid/DPK pada bulan Mei yang mencapai 21,7 persen meningkat dari bulan Desember 2016 yang mencapai 21,6 persen,”
Hal senada juga disampaikan oleh Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) David Sumual. Penerapan GWM rata-rata dapat membantu bank-bank dalam mengelola likuditasnya. “Saya perkirakan dengan kondisi makro yang semakin baik, pertumbuhan kredit akan makin baik di semester dua,” jelasnya.
Namun, dirinya berharap agar ke depannya BI juga bisa melonggarkan rasio GWM yang wajib dipenuhi secara harian sebesar 5 persen dari total rasio GWM Primer yang sebesar 6,5 persen. Karena, jelas dia, GWM Averaging hanya sebatas membantu pengelolaan likuiditas saja.
“Mungkin bisa dengan porsi GWM-nya diturunkan sedikit untuk release liquidity,” ucapnya.
Penerapan GWM Averaging ini masih dalam tahap awal dengan komponen yang dihitung secara rata-rata sebesar 1,5 persen dari total rasio GWM Primer sebesar 6,5 persen. Perhitungan rata-rata itu dilakukan setiap dua pekan. Sementara sisanya 5 persen masih harus dipenuhi dengan skema tetap (fixed) dan dihitung setiap akhir hari. (*)