Cukai Minuman Manis atau Pelabelan Gizi? Ini Dampaknya bagi Industri dan Konsumen

Cukai Minuman Manis atau Pelabelan Gizi? Ini Dampaknya bagi Industri dan Konsumen

Jakarta – Indonesia diminta menerapkan standar pelabelan di industri makanan dan minuman dibandingkan mengenakan pajak atau cukai. Langkah ini dinilai dapat membantu konsumen membuat pilihan lebih sehat sekaligus mengurangi hambatan perdagangan..

Pengamat Ekonomi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pancasetia, Ros Nirwana, menyatakan bahwa sistem pelabelan nutrisi yang lebih ketat dapat berdampak beragam bagi investor asing, tergantung pada jenis dan tujuan investasi mereka.

Menurutnya, investor asing yang memiliki komitmen terhadap kesehatan dan keberlanjutan justru mungkin tertarik dengan regulasi ini.

“Investor asing juga dapat melihat sistem pelabelan nutrisi yang lebih ketat sebagai peluang untuk berinvestasi dalam industri makanan dan minuman yang lebih sehat,” jelasnya, dikutip Rabu, 26 Maret 2025.

Namun, ia juga menekankan bahwa kebijakan ini dapat meningkatkan biaya kepatuhan dan regulasi bagi investor asing. Mereka mungkin harus mengeluarkan biaya tambahan untuk memenuhi standar pelabelan nutrisi yang lebih ketat, yang dapat berdampak pada profitabilitas mereka..

Baca juga : DJP Catat Setoran Pajak Digital RI Capai Rp33,56 T, Ini Rinciannya

“Dampak positif maupun negatif dari kebijakan ini sangat bergantung pada berbagai faktor, seperti jenis industri, ukuran perusahaan, dan kemampuan adaptasi bisnis terhadap regulasi baru,” tambah Ros.

Selain pelabelan nutrisi, Ros juga membahas kebijakan cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi gula. Kebijakan cukai mewajibkan produsen membayar pajak tambahan atas produk yang mengandung gula, dengan tujuan mengurangi konsumsi melalui kenaikan harga.

Namun, ia menyoroti bahwa kebijakan cukai berisiko meningkatkan biaya hidup bagi konsumen serta memengaruhi daya saing produsen di pasar. Bahkan, cukai juga berpotensi menimbulkan risiko penyelundupan dan pemalsuan produk.

“Risiko utama kebijakan cukai adalah peningkatan biaya hidup bagi konsumen. Selain itu, terdapat dampak negatif terhadap daya saing produsen,” kata dia.

Diketahui, saat ini regulasi pelabelan di ASEAN masih bervariasi, seperti Nutri-Grade di Singapura dan Healthier Choice di Indonesia, Malaysia, serta Brunei. Hal ini menyulitkan produsen dalam memasarkan produk secara regional.

Pendekatan fiskal seperti pajak minuman berpemanis (SSB tax) dianggap kurang efektif dan berpotensi membebani kelompok berpenghasilan rendah.

Sebelumnya, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Nirwala Dwi Heryanto, menyebut bahwa Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2025 telah memberikan ruang untuk menyusun peraturan pemerintah, termasuk terkait minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).

Baca juga : Alarm Ekonomi RI Menyala! Pajak Anjlok 41,8 Persen, Utang Pemerintah Bengkak 43,5 Persen

Namun, Nirwala menjelaskan bahwa beberapa pertimbangan ekonomi yang harus diperhatikan sebelum menerapkan cukai MBDK antara lain daya beli masyarakat serta kondisi industri makanan dan minuman.

Penolakan dari Pelaku Industri

Di sisi lain, pelaku industri makanan dan minuman (mamin) menolak wacana pengenaan cukai minuman berpemanis yang akan diberlakukan pemerintah Indonesia.

Cukai ini dinilai dapat berdampak negatif terhadap industri dan pertumbuhan ekonomi nasional yang sedang mengalami perlambatan.

Head of Strategic Marketing Nutrifood, Susana, meyakini bahwa pengenaan cukai terhadap MBDK akan menimbulkan dampak tersendiri bagi industri.

“Dengan pengenaan cukai, secara otomatis akan membuat harga produk lebih tinggi dan pada akhirnya berdampak secara keseluruhan terhadap industri. Kalau harga naik, konsumen yang terpengaruh, kalau konsumen terpengaruh, penjualan bisa turun. Bisa berdampak negatif ke industri, ekonomi keseluruhan juga,” ungkap Susana.

Menurut pemerintah, cukai terhadap MBDK bertujuan untuk mengendalikan konsumsi gula berlebihan serta mendorong industri agar mereformulasi produk dengan kadar gula lebih rendah.

Namun, Susana menegaskan bahwa pelaku industri ingin dilibatkan dalam penentuan teknis pengenaan cukai.

“Pelaku industri berkeinginan untuk dilibatkan dalam penentuan teknis apabila pemerintah akan menerapkan pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK. Di antaranya adalah terkait penentuan batas kadar gula hingga detail peraturan yang bakal diterapkan. Di sini kan kita butuh tau, tujuan cukai MBDK ini untuk menurunkan PTM (penyakit tidak menular) itu benar tidak sih? Memang ada relevansinya?” katanya.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa penerapan cukai MBDK tidak akan menyelesaikan masalah penyakit tidak menular (PTM).

“Jadi menurut kami, penerapan cukai MBDK ini tidak akan menyembuhkan penyakit, tidak akan menyelesaikan dan mencapai tujuan untuk menurunkan PTM. Kalau kita melihat, harusnya cukai MBDK ini tidak disangkut-pautkan ke sana dan tidak diberlakukan untuk industri,” pungkasnya. (*)

Editor: Yulian Saputra

Related Posts

Top News

News Update