CSED INDEF: Ekonomi Syariah Bisa Jadi Jawaban atas Tuntutan 17+8

CSED INDEF: Ekonomi Syariah Bisa Jadi Jawaban atas Tuntutan 17+8

Jakarta – Gelombang aksi mahasiswa dan masyarakat Indonesia beberapa waktu lalu di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melahirkan 17+8 tuntutan rakyat. Isinya menyoroti isu keadilan, transparansi, hingga reformasi struktural lembaga negara.

Narasi ini kemudian mendapat respons dari berbagai kalangan, termasuk pakar ekonomi syariah yang menilai bahwa instrumen keuangan syariah bisa menjadi salah satu jawaban konkret atas aspirasi publik.

“Kalau kita bicara tuntutan 17+8, itu pada dasarnya adalah permintaan rakyat agar negara hadir lebih adil, transparan, dan melindungi kebutuhan dasar masyarakat. Prinsip-prinsip itu sebenarnya sudah ada dalam maqashid syariah,” ujar Nur Hidayah, Kepala Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF dalam diskusi “Demo Cermin Kesenjangan, Ekonomi Syariah Memberi Jawaban” yang diselenggarakan CSED INDEF, secara virtual, di Jakarta, Rabu, 10 September 2025.

Menurutnya, ekonomi syariah berlandaskan pada maqashid syariah yang menekankan keadilan, kemaslahatan, serta perlindungan terhadap lima kebutuhan pokok manusia: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Prinsip ini, kata dia, berimplikasi pada kebijakan publik seperti subsidi bagi masyarakat kecil, tata kelola yang transparan, dan pembangunan berkelanjutan.

“Kalau bicara instrumen, yang utama tentu zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF). Potensinya luar biasa besar, sekitar Rp327 triliun per tahun. Namun realisasinya baru Rp40,5 triliun atau 12 persen. Artinya ada gap Rp290 triliun yang belum tergarap. Padahal angka itu setara 75 persen dari anggaran perlindungan sosial APBN,” tambahnya.

Baca juga: Ekonomi Global Tak Seburuk yang Dibayangkan, Menkeu Purbaya Beberkan Buktinya

Sejauh ini, ZISWAF telah memberi manfaat bagi 33,9 juta mustahik, dengan 463 ribu orang keluar dari kemiskinan, termasuk 194 ribu dari kategori miskin ekstrem. Meski demikian, pengelolaan dana sosial syariah masih perlu ditingkatkan.

“Diperlukan digitalisasi, tata kelola modern, transparansi, dan akuntabilitas agar kepercayaan publik meningkat. Bisa lewat platform zakat digital, crowdfunding syariah, hingga integrasi data mustahik,” jelas Nur.

Selain ZISWAF, instrumen sosial keuangan syariah lain juga dinilai penting. Keuangan mikro syariah, misalnya, terbukti membantu 190 UMKM pada 2024 meningkatkan profitabilitas, memperluas pasar, dan mengefisiensikan operasional. Ada pula instrumen sukuk sosial rakyat untuk membiayai infrastruktur publik, serta inovasi green sukuk untuk proyek energi terbarukan dan transportasi hijau.

Pemerintah disebut cukup akomodatif terhadap penguatan ekonomi syariah. Dalam RPJPN 2025–2045 dan visi Asta Cita Presiden, tercantum agenda penguatan lembaga keuangan syariah, optimalisasi dana sosial syariah, pengembangan industri halal, sertifikasi halal UMKM, hingga target menjadikan Indonesia pusat industri halal dunia.

Di daerah, sejumlah inisiatif juga berjalan, seperti integrasi zakat ke program nasional (meski masih menuai pro-kontra), program kredit mikro tanpa bunga melalui masjid di Jawa Barat, konversi BUMD menjadi bank syariah (Aceh, NTB, Riau Kepri), hingga program sekolah rakyat dan industri halal berbasis pesantren.

Meski demikian, tantangan tetap besar. Pangsa keuangan syariah baru 7–8 persen dari total nasional, Indonesia masih berada di peringkat 7 dunia dalam pengembangan keuangan syariah, serta gap besar antara potensi dan realisasi ZISWAF. Integrasi dengan program prioritas nasional pun masih lemah, narasi syariah belum eksplisit, dan tata kelola zakat di daerah belum konsisten.

Baca juga: Bank Syariah Nasional Siap Beroperasi Penuh Sebelum 2026

Karena itu, ada sejumlah rekomendasi strategis. Dalam jangka pendek, realokasi ZISWAF bisa difokuskan pada zakat produktif untuk pendidikan, pangan, dan UMKM.

Sedangkan jangka menengah, pemerintah perlu mendorong pengembangan sukuk sosial rakyat dan wakaf-linked sukuk untuk sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Sementara dalam jangka panjang, perlu ada mainstreaming fiskal syariah, misalnya integrasi zakat dan pajak seperti di Malaysia, serta belanja daerah berbasis maqashid syariah yang fokus pada sektor strategis.

“Dengan digitalisasi, transparansi, dan forum partisipatif umat, ekonomi syariah bukan hanya alternatif, tapi bisa menjadi arus utama pembangunan yang benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat,” pungkasnya. (*) Ayu Utami

Related Posts

News Update

Netizen +62