Cost Push Inflation, Perekonomian Masuk Zona Merah

Cost Push Inflation, Perekonomian Masuk Zona Merah

Tingkat inflasi yang tinggi yang diakibatkan oleh cost push inflation akan menggerus pendapatan dan daya beli masyarakat secara keseluruhan dan signifikan. Agus Herta Sumarto

 

Jakarta–Pada awal Juni 2015 Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, mengumumkan bahwa pada Mei 2015 telah terjadi inflasi sebesar 0,50%. Ini merupakan inflasi bulanan tertinggi pada Mei sejak 2008. Inflasi pada Mei 2008 merupakan inflasi pada Mei tertinggi yang mencapai 1,41%. Inflasi pada Mei yang tinggi pada 2008 tersebut disebabkan oleh adanya krisis ekonomi global yang berdampak pada ekonomi nasional. Selebihnya, inflasi pada Mei selalu di bawah 0,3%. Bahkan, pada Mei 2013 terjadi deflasi sebesar -0,03%.

Kepala BPS menjelaskan bahwa tingginya inflasi pada Mei 2015 disebabkan oleh volatilitas harga pangan. Hampir seluruh harga komoditas pangan mengalami kenaikan sehingga berdampak pada tingginya inflasi pada Mei 2015. Naiknya harga beberapa komoditas pangan ini disinyalir karena kacaunya capaian hasil panen raya. Panen raya yang biasanya terjadi pada awal tahun telah terganggu oleh perubahan iklim dan cuaca yang cukup ekstrem yang mengakibatkan hasil panen tidak optimal. Buruknya hasil dari panen raya telah memicu kenaikan harga beberapa kebutuhan pokok yang pada akhirnya mengerek angka inflasi pada Mei 2015 yang seharusnya rendah.

Namun, apa yang sebenarnya terjadi dengan inflasi pada Mei 2015 ini dan apa dampaknya terhadap perekonomian secara keseluruhan?

Sebagaimana diketahui bahwa selama ini inflasi digunakan sebagai salah satu alat barometer untuk mengukur tingkat kesehatan suatu perekonomian. Inflasi yang terlalu tinggi akan berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Daya beli masyarakat akan tergerus ketika inflasi naik tinggi dan berada di luar kontrol pemerintah melalui otoritas kebijakan moneternya. Sebaliknya, inflasi yang terlalu rendah mencerminkan roda perekonomian tidak berjalan maksimal yang berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi, mandeknya penciptaan lapangan kerja, dan bertambahnya angka masyarakat miskin.

Pemerintah melalui otoritas kebijakan moneternya biasanya mematok angka inflasi moderat yang terletak di batas atas sehingga perputaran uang terus berjalan optimal dan mengerek daya beli masyarakat ke tingkat yang lebih tinggi. Angka inflasi tahunan biasanya dipatok di atas 5% dan di bawah 10%. Dengan angka inflasi sebesar itu diyakini perekonomian bisa berjalan optimal dengan tingkat daya beli masyarakat yang terjaga atau bahkan bertambah. Inflasi jenis ini disebut dengan demand full inflation. Ibarat kolesterol dalam tubuh, inflasi yang berasal dari demand full inflation merupakan kolesterol yang baik untuk metabolisme dalam tubuh manusia.

Lalu, apakah tingginya inflasi pada Mei 2015 menandakan roda perekonomian Indonesia telah berjalan secara optimal dan mencapai titik steadynya? Tingginya angka inflasi pada Mei 2015 telah menimbulkan anomali inflasi terhadap perekonomian nasional. Tingginya inflasi pada Mei 2015 yang dibarengi dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menandakan ada suatu ganjalan yang menjadi penghalang berputarnya roda perekonomian Indonesia secara maksimal.

Perlu diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi pada triwulan pertama 2015 merupakan angka pertumbuhan ekonomi terendah pascakrisis ekonomi global. Menurut catatan BPS, dibandingkan dengan angka pertumbuhan ekonomi 2010, angka pertumbuhan ekonomi pada triwulan pertama 2015 turun sebesar 1,67%. Bahkan, dibandingkan dengan triwulan pertama 2014, semua sektor dalam perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan yang negatif. Bila dibandingkan dengan triwulan pertama 2014, rata-rata seluruh sektor perekonomian (industri, konstruksi, pertanian, dan perdagangan) mengalami penurunan sebesar 0,19%. Pertumbuhan sektor industri turun 0,14% dibandingkan dengan triwulan pertama 2014. Sementara itu, pertumbuhan sektor konstruksi, pertanian, dan perdagangan masing-masing turun 0,1%, 0,2%, dan 0,32% dibandingkan dengan triwulan pertama 2014.

Bahkan, dalam dua tahun terakhir ini neraca pembayaran Indonesia sering kali negatif. Salah satu sebab terjadinya negatif neraca pembayaran ialah negatifnya neraca perdagangan. Jumlah impor barang dan jasa masih lebih besar daripada ekspor barang dan jasa Indonesia. Atau, dengan kata lain, sektor-sektor industri strategis dan industri substitusi impor tidak berjalan secara optimal. Sektor industri dalam negeri masih kalah dari sektor industri luar negeri sehingga arus barang dan jasa yang masuk masih jauh lebih besar daripada barang dan jasa yang keluar.

Nilai ekspor Indonesia sejak 2012 terus mengalami penurunan. Menurut data BPS, pada 2011 ekspor Indonesia masih mencapai US$203,5 miliar, tapi pada 2012 mengalami penurunan menjadi US$190,02 miliar. Penurunan ini terus berlanjut dan sampai dengan akhir 2014 nilai ekspor Indonesia hanya mencapai US$176,29 miliar atau turun US$26,76 miliar dibandingkan dengan 2011.

Di lain sisi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam beberapa minggu terakhir susah bergeser dari kisaran Rp13.200 per US$1. Lemahnya nilai tukar rupiah ini disebabkan oleh beberapa hal. Selain karena defisit neraca pembayaran dan neraca perdagangan, rendahnya devisa Indonesia disinyalir menjadi salah satu pemicu selalu lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Bila dibandingkan dengan Singapura, cadangan devisa Indonesia kurang dari setengah cadangan devisa Singapura. Dalam lima tahun terakhir cadangan devisa Indonesia nyaris tidak mengalami perubahan yang berarti. Cadangan devisa Indonesia stagnan di kisaran US$100 miliar. Dalam lima tahun terakhir cadangan devisa tertinggi Indonesia hanya US$112,78 miliar yang tercapai pada 2012. Pada 2013 cadangan devisi Indonesia turun drastis menjadi US$99,39 miliar. Pada 2014 cadangan devisa Indonesia kembali menguat menjadi US$111,86 miliar. Namun, jumlah ini masih sangat jauh dari cadangan devisa Singapura yang pada 2014 mencapai US$256,86 miliar. Cadangan devisa Indonesia sepertinya sangat sulit untuk menembus US$120 miliar, apalagi untuk menyalip cadangan devisa Singapura.

Kembali ke masalah inflasi. Tingginya inflasi bulanan yang terjadi pada Mei 2015 merupakan pertanda bahwa inflasi yang terjadi bukanlah inflasi yang baik bagi metabolisme perekonomian Indonesia. Inflasi yang tinggi pada Mei 2015 terjadi ketika perekonomian mengalami kontraksi yang cukup berat. Dalam hal ini pertumbuhan ekonomi terus mengalami penurunan, nilai tukar rupiah yang cenderung terus mengalami pelemahan dan terkesan tidak mau kembali kuat, cadangan devisa yang jalan di tempat, serta neraca pembayaran dan neraca perdagangan yang sangat rentan terhadap defisit merupakan salah satu indikasi bahwa inflasi yang terjadi adalah cost push inflation bukan demand full inflation. Bila diibaratkan kolesterol dalam tubuh, inflasi yang diakibatkan oleh cost push inflation merupakan kolesterol low-density lipoprotein (LDL) yang sangat berbahaya bagi metabolisme tubuh manusia.

Cost push inflation merupakan inflasi yang tinggi yang diakibatkan oleh kontraksi ekonomi, dalam hal ini kegiatan perekonomian mengalami penurunan sehingga perputaran uang berkurang dan harga-harga mengalami kenaikan. Tingkat harga yang terkerek naik mengakibatkan harga-harga bahan dan faktor produksi mengalami peningkatan. Dengan meningkatnya harga-harga faktor produksi, maka pendapatan nasional pun mengalami penurunan dan akan kembali menekan pertumbuhan ekonomi. Tingkat inflasi yang tinggi yang diakibatkan oleh cost push inflation akan menggerus pendapatan dan daya beli masyarakat secara keseluruhan dan signifikan. Cost push inflation akan mengakibatkan berkurangnya lapangan pekerjaan dan bertambahnya angka kemiskinan.

Oleh karena itu, fenomena tingginya inflasi pada Mei 2015 ini tidak boleh dipandang sebelah mata oleh Presiden Jokowi beserta jajaran tim ekonominya. Inflasi yang disebabkan oleh cost push inflation bisa menjadi peringatan keras bagi pemerintah bahwa perekonomian nasional sedang memasuki zona merah. Jika tidak ditindaklanjuti secara cerdas, kondisi ini akan bertambah parah dan pada akhirnya akan berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dilakukan pemerintah beberapa waktu yang lalu dinilai sebagai langkah tepat untuk mengurangi benalu anggaran yang selama ini menggerogoti porsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Namun, tentunya, hal tersebut memerlukan langkah-langkah ikutan yang sifatnya komplementer dengan kebijakan kenaikan harga jual BBM bersubsidi. Margin anggaran yang didapat dari pengurangan subsidi selayaknya digunakan untuk pembangunan sektor infrastruktur yang menjadi sektor kunci dan memiliki multiplier effect terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Margin yang diperoleh dari pencabutan subsidi tersebut seyogianya tidak digunakan untuk hal-hal yang sifatnya tidak produktif, termasuk penambahan modal negara kepada BUMN-BUMN yang notabene masih sanggup untuk menghasilkan keuntungan bagi negara.

Untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi saat ini, pemerintah tidak bisa berharap banyak dari sektor konsumsi, perdagangan, dan investasi swasta. Sektor konsumsi akan ikut melemah seiring dengan tergerusnya daya beli masyarakat. Sektor investasi swasta pun ada kemungkinan seret setelah melihat struktur dan kondisi perekonomian nasional yang sangat rentan terhadap konstraksi. Sementara itu, sektor perdagangan sejak 2012 telah mengalami mati suri yang sulit untuk bangkit dalam waktu singkat.

Satu-satunya instrumen pemerintah untuk menggairahkan perekonomian nasional ialah dengan menggenjot pengeluaran pemerintah. Pascapencabutan subsidi BBM bersubsidi, pemerintah seharusnya memiliki kelonggaran APBN yang cukup besar, dalam hal ini anggaran yang tadinya untuk dibakar dalam bentuk subsidi bisa dialihkan ke sektor industri dan konstruksi yang memiliki multiplier effect terbesar terhadap perekonomian nasional. Semuanya kembali kepada keseriusan dan kemauan pemerintah untuk kembali menggenjot roda perekonomian nasional dan mengadang laju inflasi yang diakibatkan oleh cost push inflation.

 

Related Posts

News Update

Top News