Jakarta – Pertumbuhan ekonomi yang tumbuh hingga 5,44% menunjukan bahwa Indonesia masih cukup kuat dalam menghadapi gejolak ketidakpastian global. Namun, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, Indonesia juga masih akan menghadapi potensi kenaikan inflasi.
Chief Economist Citi Indonesia, Helmi Arman mengatakan, bahwa pertumbuhan ekonomi didorong oleh meningkatnya pasar ekspor ke negara-negara besar dunia terutama china dan kembali masuknya investasi logam dasar dalam beberapa tahun terakhir.
“Ekspor kita meningkat market share ke cina terutama. 5 sampai 7 tahun terakhir masuk investasi yang cukup besar ke logam dasar dan semenjak 2020 investasi ke logam dasar sudah berproduksi dan output ke asia utara terutama Tiongkok, dari yang tidak produksi nikel, sekarang sudah menempati kontribusi 70% nikel dunia,” ucap Helmi di Jakarta, 11 Agustus 2022.
Ia menjelaskan, aktifitas di sektor swasta juga mengalami pemulihan dalam bentuk konsumsi maupun investasi, meskipun pada awal pandemi pemerintah secara perlahan menarik stimulus secara besar-besaran.
Namun, Indonesia masih harus menghadapi tantangan ekonomi dalam jangka pendek. Diantaranya adalah prediksi inflasi inti yang akan naik ke 3,5% dari 2,8% hingga akhir tahun, dikarenakan masih banyaknya bisnis jasa yang tidak menyesuaikan harga, serta demand bisnis jasa yang cenderung melemah saat pandemi.
“Inflasi inti masih akan bergerak ke atas, selama 2 tahun pandemi sangat rendah karena sangat banyak bisnis jasa yang tidak menyesuaikan harga, demand jasa lemah saat pandemi, sekarang masa normal adjustment biaya jasa yang tertunda akan meningkat, dan inflasi inti 2,8% akan naik ke 3,5% hingga akhir tahun,” ujar Helmi.
Meski demikian pemulihan ekonomi masih akan terus berlanjut dengan didukung oleh berbagai kebijakan pemerintah terkait dengan kebijakan menahan harga energi dan subsidi, dapat berlanjut secara signifikan. (*) Khoirifa