Jakarta – Tingginya harga beberapa komoditas pangan yang sudah berlangsung sejak awal tahun dinilai dapat berdampak pada daya beli masyarakat. Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengungkapkan bahwa kestabilan harga saat ini bukan lagi menjadi satu-satunya yang menentukan keterjangkauan masyarakat terhadap komoditas pangan. Pemerintah perlu memperhatikan daya beli yang menurun akibat pandemi Covid-19.
“Rilis Badan Pusat Statistik menunjukkan angka kemiskinan periode September 2021 menunjukkan perbaikan dengan adanya penurunan sebesar 9,71% setelah setahun sebelumnya (September 2020) mencapai 10,19%. Namun pencapaian positif ini berpotensi menurun karena tingginya harga komoditas pangan. Pangan merupakan komponen bernilai signifikan dalam konsumsi rumah tangga, terlebih pada masyarakat berpenghasilan rendah, yang dapat mencapai 50%,” ujar Felippa pada keterangannya di Jakarta.
Indeks Bulanan Rumah Tangga (Bu RT) dari CIPS menunjukkan, harga minyak goreng di Jakarta pada Maret naik 32,18% menjadi Rp18.505/liter dari Rp14.000/liter pada Februari atau setara dengan kenaikan sebesar 39,69% dari Rp13.247/liter dibandingkan Maret tahun lalu. Baru-baru ini, pemerintah menetapkan pelarangan ekspor crude palm oil (CPO) serta produk turunannya termasuk minyak goreng, setelah sebelumnya memberlakukan kenaikan besaran Domestic Market Obligation (DMO), Domestic Price Obligation (DPO) dan Harga Eceran Tertinggi (HET).
Lebih jauh, harga daging sapi juga naik sejak awal tahun. Data Indeks Bu RT menunjukkan, harga daging sapi di Jakarta pada Maret 2022 naik 9,27% dari Februari menjadi Rp153.700/kg. Ada juga peningkatan 2,28% dari periode yang sama tahun lalu.
Felippa menjelaskan, kenaikan harga tersebut berkaitan dengan kenaikan harga daging sapi dunia, kenaikan biaya distribusi, serta peningkatan permintaan jelang Ramadan. Karena supply daging sapi Indonesia masih didominasi impor, yaitu sebesar 30% berdasarkan data Kementerian Pertanian 2020, kenaikan harga daging sapi internasional juga berdampak pada kenaikan harga domestik.
Pada tahun 2020, impor daging sapi Indonesia didominasi Australia (47%), diikuti oleh India (34,18%), Amerika Serikat (8,74%), Selandia Baru (6,46%), dan lainnya (3,62%), berdasarkan data BPS 2021. Masyarakat cenderung memilih makanan yang mengenyangkan dengan harga yang lebih murah, tapi belum tentu mencukupi kebutuhan nutrisi yang diperlukan tubuh.
“Proses dan prosedur perdagangan perlu ditingkatkan efisiensinya sehingga tidak memakan biaya dan waktu. Selain itu, kebijakan perdagangan harus dibarengi dengan kebijakan pertanian yang fokus pada peningkatan daya saing produsen dalam negeri. Faktor domestik yang menyebabkan harga tinggi harus diatasi melalui kebijakan seperti peningkatan penelitian dan pengembangan, akses ke input yang lebih murah, dan perbaikan infrastruktur,” tambah Felippa.
Ia menyebut, upaya untuk meningkatkan daya saing produk pertanian sangat diperlukan untuk membuka pasar. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan upaya konsisten untuk menciptakan dan menjaga iklim bisnis investasi dan persaingan usaha di Indonesia. Iklim investasi sebaiknya tetap terbuka agar proses modernisasi dan transfer teknologi dapat berjalan optimal.
Modernisasi dan transfer teknologi dapat membantu efisiensi proses produksi yang dilakukan petani. Proses produksi yang tidak efisien membuat produk pertanian lokal sulit bersaing dengan produk impor yang diciptakan lewat proses produksi yang efisien sehingga kualitasnya lebih baik dan harganya lebih murah. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra