Jakarta – Ekonom Senior, Chatib Basri, menyebutkan Indonesia saat ini sebagai one of the begin Southeast Asia Region atau cahaya di Asia Tenggara, meskipun masih adanya gejolak global, seperti tingginya inflasi di Amerika Serikat dan ketegangan antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan krisis energi di Eropa.
“Dengan kondisi itu efek dari global spillover itu sangat limited pada kita, nah tentu untuk mengatasinya harus melalui pasar domestik. Kuncinya 3 sebetulnya, fiskal, moneter, dan stabilitas sektor keuangan,” ujar Chatib dalam panel diskusi pada Outlook Perekonomian Indonesia 2023 di Jakarta, Rabu, 21 Desember 2022.
Terkait dengan hal ini, Bank Indonesia (BI) tetap harus menjaga keseimbangan dengan suku bunga The Fed, jika nantinya Fed Fund Rate tersebut kembali naik. Karena jika tidak, akan terjadi tekanan dalam nilai tukar. Hal tersebut dikarenakan, fungsi BI tidak hanya untuk menjaga inflasi tetapi juga menjaga nilai tukar.
“Jadi, itu mungkin akan terjadi tapi mungkin sampai triwulan ketiga (2023) setelah itu ada ruang untuk interest ratenya lebih rendah, sehingga ada periode kita tahan napas mungkin 3 kuartal setelah itu akan mulai turun,” imbuhnya.
Kemudian, Chatib mengungkapkan dari sisi Kementerian Keuangan, harus terus menjaga daya beli, menjaga purchasing power kualitas belanja yang dimana hal tersebut nantinya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Ada efek dari high up yang mungkin muncul dari interest rate loan at risknya mungkin sekitar 17% sekarang, tetapi mungkin kalau staretest dilakukan oleh financial sektor, dijaga baik-baik, efeknya itu mungkin akan minimal,” ujar Chatib.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, Mantan Menteri Keuangan itu optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di kisaran 4,5-5% di tahun 2023.
“Dari konteks itu saya termasuk orang yang dari awal mengatakan global akan resesi tapi probabilitas resesi Indonesia relative kecil, sehingga saya gak surprise kalau growth kita di tahun 2023 itu mungkin di kisaran 4,5-5%,” tambahnya. (*)