Catatan Awal Tahun 2024: Sedia ‘Payung’ Sebelum Krisis Sistem Pembayaran Meledak

Catatan Awal Tahun 2024: Sedia ‘Payung’ Sebelum Krisis Sistem Pembayaran Meledak

Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank

SEDIA payung sebelum krisis. Hal itu penting dilakukan ketika tidak terjadi krisis. Jadi, begitu terjadi krisis sudah ada protokolnya. Tidak lazim bicara krisis sistem pembayaran. Banyak pihak justru lebih sering berbicara tentang krisis keuangan yang lebih luas.

Sementara, dalam keterangan di website Bank Indonesia (BI) disebut-kan, pengalaman krisis keuangan yang dialami dunia, termasuk Indonesia, telah mengajarkan otoritas dunia akan pentingnya sebuah Protokol Manajemen Krisis (PMK). Kata protokol sendiri didefinisikan sebagai sistem aturan yang menjelaskan praktik-praktik (conduct) dan prosedur yang benar (atau dianggap benar) yang harus dijalankan dalam suatu situasi yang formal.

Menurut website BI, keberadaan PMK dalam sistem keuangan sangat penting dalam upaya penyelesaian krisis (crisis resolution) untuk membantu otoritas keuangan bereaksi dan mengambil langkah-langkah tepat dan terkoordinasi dengan cepat.

Baca juga: Belajar dari Krisis 1998, Profesi Keuangan Pegang Peranan Penting Kawal Perekonomian Indonesia

Lebih jauh, keberadaan PMK di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).

Tidak disebutkan PMK krisis sistem pembayaran, atau minimal soal kisi-kisi krisis sistem pembayaran sehingga dapat diketahui publik. Bahkan, protokol yang ada selalu tentang resolusi keuangan. Semua berdasarkan lessons learned “financial crisis” tahun 1998, 2008, 2013, dan global pandemic tahun 2020.

Menurut catatan Infobank Institute, banyak kemajuan dalam aspek kerangka regulasi yang progresif, kolaborasi antarnegara, dan inovasi layanan pelaku industri (bank/nonbank) yang telah dicapai, dan memberikan manfaat kepada masyarakat. Ada berbagai contoh kasatmata. Satu, inisiasi layanan QRIS yang merupakan terobosan dengan pertumbuhan tiga digit secara konstan selama/pascamasa pandemi. Tidak hanya pertumbuhan transaksi, tetapi juga berdampak terhadap perubahan kebiasaan dan tingkat adaptasi masyarakat terhadap pembayaran digital.

Dua, layanan transfer BI-FAST dengan harga murah bersubsidi untuk mendukung sektor UMKM yang menambah keragaman bauran layanan inovasi sistem pembayaran lainnya. Tiga, pertumbuhan transaksi dan nilai transaksi digital sehingga transaksi elektronik per kapita juga terus meningkat hingga kembali double digit setelah pandemi. Dan, bagi Indonesia, semakin e-transaction/capita meningkat maka peluang untuk menurunkan tingkat korupsi akan semakin terbuka lebar.

Baca juga: Bank Indonesia Klaim BI Fast Tak Menurunkan Fee Based Perbankan

Pertanyaannya, apakah Indonesia akan terbebas dari krisis sistem pembayaran? Apakah Sistem Pembayaran Nasional telah memiliki protokol krisis yang memadai dan mumpuni sesuai perkembangan teknologi, inovasi, dan kemajuan metode fraud atau hacker saat ini?

Simak beberapa kenyataan ini. Satu, serangan siber (cyber attack) terhadap pelaku industri sistem pembayaran yang bersifat masif dan terstruktur yang dialami oleh beberapa bank juga nonbank pada 2023. Dari aspek skala dan dampak terjadi peningkatan yang signifikan, dan yang memprihatinkan adalah rata-rata TTR (time to recovery) relatif masih dalam hitungan hari, minggu, bahkan bulan.

Nah, jika kejadian di atas terjadi di negara lain, di Singapura misalnya, pihak otoritas yang berwenang yaitu Monetary Authority of Singapore (MAS) baru-baru ini memberikan penalti selama enam bulan tidak boleh mengembangkan produk layanan baru sampai akar permasa-lahan teratasi secara permanen. Konon MAS sangat tidak puas karena TTR bank tersebut mencapai 5 jam, yang bagi ekosistem kita sudah “supercepat”.

Dua, serangan ransomware tersebut tidak hanya dialami oleh pelaku industri sistem pembayaran, tetapi juga menimpa pelaku industri lain, pengelola data center, dan penunjang lain yang tidak diangkat oleh media. Sama halnya, juga terjadi peningkatan skala dan dampak dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Tiga, peningkatan social engineering dan fraud lainnya bagi nasabah bank/nonbank yang belum memperoleh respons secara komprehensif dan terintegrasi dari regulator dan pelaku industri. Pelaku social engineering bak jamur tumbuh di musim hujan, mati satu tumbuh seribu.

Baca juga: Masa Depan Konektivitas Sistem Pembayaran di Asean

Empat, jujur harus diakui ada peningkatan jumlah dan durasi problem layanan BI-FAST sebagai infrastruktur sistem pembayaran nasional sepanjang 2023, selain RTGS, SKN, dan GPN. Setidaknya, di tahun 2023, terjadi peningkatan TTR yang lebih lama jika dibandingkan dari tahun 2022 lalu.

Catatan pentingnya, boleh jadi problem BI-FAST yang berdampak pada layanan terhadap nasabah tidak hanya disebabkan oleh masalah sistem BI-FAST tetapi juga dapat terjadi karena masalah di sistem atau jaringan peserta BI-FAST (bank/nonbank). Tidak hanya itu. Problem BI-FAST tidak hanya berdimensi layanan transaksi bagi nasabah, tetapi juga memiliki dampak terhadap rekonsiliasi, komplain nasabah, dan reputasi segenap pemangku kepentingan.

Sudah waktunya bagi kita semua untuk ikut memikirkan national interest soal PMK sistem pembayaran di tengah banyak kesuksesan yang terjadi di sistem pembayaran. Sehingga, ketika terjadi down dalam sistem pembayaran sudah ada protokol yang lebih terukur dan antisipatif. Sedia payung sebelum krisis.

Selamat Tahun Baru 2024.

Related Posts

News Update

Top News