Catatan Awal Tahun 2023: Kondisi “Darurat”, Rezim Suku Bunga Tinggi, dan “Celengan Semar” di Tahun Politik

Catatan Awal Tahun 2023: Kondisi “Darurat”, Rezim Suku Bunga Tinggi, dan “Celengan Semar” di Tahun Politik

Oleh: Eko B. Supriyanto, Pinpinan Redaksi InfoBank

SUKU bunga kembali dikerek tinggi. Bank Indonesia sudah mengumumkan kenaikan suku bunga 7-Day Repo menjadi 5,5% (22/12/2022) dari 5,25% bulan sebelumnya. Gairah menaikan suku bunga akan terus dijaga oleh BI, artinta rezim suku bunga tinggi ini akan berlanjut hingga pertengahan tahun 2023. Infobank Institute memperkirakan suku bunga 7-Day Repo ini berkisar 6,5% hingga 7,5%. 

Meski BI berkali-kali menyebut kenaikan suku bunga ini tidak membuat bank-bank kliyengan likuiditas. Namun tetap saja bank-bank wajib berjaga-jaga. Sektor riil yang mulai juga banyak gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), setidaknya “tusukan” krisis bisa bersumber dari sektor riil.

Dunia usaha akan terbakar suku bunga. Program restrukturisasi meski diperpanjang secara terbatas, bisa jadi beberapa sektor riil tercekik cash flow-nya. Itu karena tak terkena program perpanjangan  program restrukturisasi kredit dan terbakar suku bunga. Daya beli masyarakat juga sedikit terganggu. Banyaknya gelombang PHK, dan guyuran stimulus dari APBN sedikit terbatas akibat program COVID-19 sudah mulai reda.

Sejalan dengan itu. Juga, ketakutan ketakutan yang dihembuskan oleh banyak pihak termasuk Presiden. Bahkan Presiden Joko Widodo dalam sambutan di acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia, beberapa waktu lalu, setidaknya mengucapkan kata hati-hati tak kurang dari 12 kali. 

Juga, tak jarang Menkeu mengingatkan tentang bahaya krisis tahhun 2023. Krisis dan resesi merupakan kata yang mulai sering kita dengar. Kata-kata resesi, krisis dan tahun sulit, sejatinya peringatan waspada. Namun karena sering diulang menjadi pesimis di kalangan dunia usaha. Entah apa motifnya menebar kata hati-hati krisis yang berlebihan. Apakah ada motif politik?

Eling lan waspodo. Pepatah jawa ini seperti abadi. Di zaman apa pun apalagi di zaman yang katanya dunia akan resesi. Dan, survey Bloomberg, Indonesia dinilai kemungkinan kecil (3%) akan terbakar krisis, tapi meski begitu tetaplah eling lan waspada. Siapa yang bisa  memprediksi ekonomi dengan tepat? Krisis 1998 lalu, salah satunya karena meremehkan menutup 16 bank kecil-kecil tanpa program penjaminan.

Itu kesalahan terbesar IMF sehingga merembet ke krisis moneter 1998 dengan biaya krisis 70% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar Rp647 triliun. Sebelumj krisis lembaga-lembaga donor memuja-muji kondisi ekonomi Indonesia yang sehat dan strong. Tapi, faktanya Indonesia masuk pusaran krisis Asia paling parah.

Berbeda. Sekarang indikator-indikator ekonomi mulai banyak dipengarui banyak faktor yang sebelumnya tak dihitung dengan benar. Soal geopolitik, perubahan iklim dan faktor kesehatan. Perang dan “pagebluk” wabah COVID-19 serta pemanasan global. Semua itu mempengaruhi siklus naik turun ekonomi dengan cepat. 

Bahkan, khusus dampak perang Rusia vs Ukraina oleh Indonesia sebagai keadaan darurat. Efek dari perang itu telah dijadikan landasan Pemerintah untuk membuat Perppu No 2. Tahun 2022  tertanggal 30 Desember 2022 terkait UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lahirnya Perppu itu menandakan kegentingan sudah memaksa, meski jujur saja ekonomi Indonesia masih baik-baik saja.

Kondisi “Darurat” dan Skenario “Celengan Semar”

Lihat saja berdasarkan survey dari Bloomberg, probabilitas resesi ekonomi tahun 2023 ke depan akan melanda Negara-negara Uni Eropa (50%) dan Amerika Serikat sendiri (50%) dan Negara Negara lain sekitar 20%. Indonesia probabilitas resesi hanya 3%. Artinya Indonesia relatif akan baik-baik saja. Tidak ada yang darurat.

Meski demikian, paling tidak harus dibuat skenario agar Indonesia dan sekaligus langkap-langkah agar bank-bank tidak masuk lembah krisis. Satu, jika ekonomi sedang mengalami pemulihan, inflasi terus mendaki dan kualitas pinjaman memburuk. 

Dua, ekonomi stagnan, inflasi terus merayap naik dan kualitas kredit memburuk. Tiga, ekonomi pulih, inflasi terkendali dan kualitas pinjaman bank membaik. Empat, ekonomi tetap stagnan, inflasi terkendali dan kualitas pinjaman membaik.

Untuk itu, bank-bank harus memperhatikan empat skenario itu. Nah, jika melihat kebijakan restrukturisasi kredit bank yang akan diperpanjang (terbatas) maka, kemungkinan terbesar adalah pada skenario kedua dan paling tidak pada kemungkinan keempat. 

Skenario pertama dan ketiga bisa jadi kemungkinan kecil terjadi, karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tetap memperpanjang program restrukturisasi lagi. Bahkan, berbagai penilaian, Indonesia tidak akan masuk ke resesi meski diakui akan sedikit penurunan ekonomi. Infobank Institute telah merevisi pertumbuan ekonomi menjadi 4,3%-4,7% dari sebelumnya 4,9%.

Namun demikian tetap perlu diperhatikan. Meski peluangnya kecil rembetan krisis dari sektor financial maupun dari sektor ekspor, tapi rembetan krisis bisa dari sektor riil. Dunia usaha yang punya utang bank. Apalagi, yang kekenyangan utang bank. Rezim suku bunga tinggi telah menimbulkan ketakutan tersendiri bagi sektor riil. Tahun 2023 merupakan tahun yang tidak mudah bagi dunia usaha, terutama perusahaan yang kekenyangan utang.

Lha, waktu suku bunga rendah saja tidak bisa bayar pinjaman dengan minta restrukturisasi seringan-ringannya. Sekarang dengan suku bunga tinggi pun tentu lebih berat. Sejumlah moral hazard selalu ada sebagai “penumpang gelap”. Rembetan krisis bisa datang dari debitur-debitur yang sudah sontoloyo. Bahkan, debitur baik-baik pun bisa  terkena efek dari naiknya suku bunga kredit.

Bank-bank akan masuk zaman new normal dengan suku bunga yang tinggi. Hanya memang tidak semua bank menaikan suku bunga simpanannya setara dengan bunga 7-Day repo. Bank-bank dengan ukuran lebih kecil akan lebih sulit. Pada akhirnya akan terjadi perlombaan menaikan suku bunga. Rezim suku bunga tinggi sudah datang.

Saat ini simpanan dolar lagi deras derasnya pergi ke Singapura. Jadi, bank-bank setidaknya harus menjaga likuiditasnya. Suku bunga akan terus bergerak naik dan Bank Indonesia sepertinya hendak mengejar curva untuk menaikan suku bunga, setelah langkah menaikan Giro Wajib Minimum (GWM) mengikat likuiditas bank-bank. Infobank Institute memperkirakan, terutama dalam enam bulan pertama tahun 2023, BI akan terus menaikan suku bunga dengan kisaran 6,5%-7,5%. 

Dan, yang paling penting sekarang ini, untuk tetap eling lan waspodo,  dengan membentuk “Celengan Semar” (pencadangan) yang lebih besar. Jangan sampai melupakan pembentukan cadangan, karena cara inilah yang lebih antisipatif. Pembersihan kotoran kredit dari sisa-sisa loan at risk (LAR). Pemilik bank harus rasional dengan menambah modal, atau rela keuntungannya untuk membentuk “celengan semar”yang lebih besar.

Tahun 2023 sudah dibayangkan tahun tidak mudah oleh Pemerintah. Sulit, demikian perkiraanya, karena ekonomi global mengalami koreksi penurunan. Juga, telah dimulai tahun politik. Calon Presiden sudah harus diumumkan dan daftar calon anggota DPR juga demikian. Tahun politik pragmatis yang riuh rendah plus suku bunga tinggi. Politisasi kondisi ekonomi dan inflasi, impor pangan dan isu reshuffle akan meramaikan kondisi pasar yang riuh rendah.

Semua itu memaksa bank-bank harus membuat “kuda-kuda” yang lebih kuat. Dan, kuda-kuda itu, tak lain adalah “celengan semar” atawa cadangan kredit macet karena risiko yang meningkat. Namun bank-bank masih akan lolos dari lubang jarum krisis ini sepanjang para pejabat tidak membuat pernyataan kontroversi tentang bank sakit.

Pengalaman, sekecil apa pun bank bisa menimbulkan krisis. Jika demikian, maka pada akhirnya bank sendiri akan susah. Jangan harap bantuan dari BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Semua itu hanya aturan protokol krisis yang tak berani dijalankan oleh pejabatnya. Intinya bukan pada aturan, tapi nyali dari pejabatnya.

Pengalaman tahun 2020 ketiga lembaga itu saling lempar “bola panas”, meski protokol krisis sudah ada. Hantu politisasi penyehatan Bank Century masih terus terbayang hingga kini. Para pembuat kebijakan tentu tidak bisa disalahkan atas ketakutan itu. Namun dengan struktur politik yang tidak ada oposisi berarti tentu menjalankan protokol krisis tidak ada yang ditakuti. 

Jika terjadi krisis jangan terlalu berharap dari BI, OJK, LPS dan Kemenkeu. Apalagi bank Anda ukurannya kecil tentu dilihat dengan sebelah mata. Lebih baik di awal rezim suku bunga tinggi ada baiknya “bersih-bersih” kredit macet, sebelum datang gelombang kredit macet. Di tahun politik bisa saja terjadi – pergantian direksi BUMN, pengalaman juga kerap terjadi di masa injury time Pemerintah  (2024).

Bank-bank harus menjaga dirinya sendiri dengan memperkuat “kuda-kuda” dan menjaga brangkas likuiditasnya dan membentuk “celengan semar” yang lebih gendut. Meski UU P2SK sudah disyahkan, ada protokol krisis yang lebih memadai, tapi jujur saja protokol krisis yang sebelumnya sudah memadai. 

Semua ini soal nyali dari pengambil keputusan. Hantu politisasi dan kriminalisasi menjadi trauma seumur hidup dari bagi para pejabat. Sebab, politik di Indonesia itu unik, katanya koalisisi tapi bisa oposisi. Semua tergantung kepentingan. Apalagi di tahun 2023 sudah memasuki tahun politik.

Krisis bisa datang dari sektor riil. Pemerintah  pun di akhir tahun 2022 sudah menyebut kondisi keadaan darurat dengan menyebut dampak perang Rusia-Ukraina, ancaman inflasi tinggi dan stagflasi yang membayangi Indonesia. Pemerintah menilai kondisi sudah darurat. Sudah memaksa.

Itu pula maka lahirnya Perppu No.2 Tahun 2022 terkait dengan UU Cipta Kerja Tahun 2020. Pemerintah pun mengklaim Perppu ini sudah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa – meski keadaan genting – dinilai banyak kalangan sebagai sikap subjektif. Wajar saja demikian, karena ekonomi masih baik-baik saja, sering disebut Indonesia ekonominya tumbuh relatif baik. Tapi faktanya di akhir tahun 2022 lalu, terbitlah Perppu yang artinya Indonesia dalam kondisi darurat.

Apakah nanti juga akan lahir Perppu kegentingan yang memaksa untuk memperpanjang masa jabatan Presiden? Itu jika terjadi, semua happy, selain perpanjangan masa jabatan Presiden, juga masa jabatan DPR RI dan DPRD, MPR RI serta DPD RI? Biaya Pemilu yang mencapai puluhan triliun rupiah bisa ditunda. Semua bisa mungkin, karena kondisi darurat dan genting dalam Perppu — bisa hanya dari efek Perang Rusia vs Ukraina, inflasi tinggi dan bahaya stagflasi. Alasan bisa dicari, meski tak masuk akal sekalipun.

Inikah makna dari kata hati-hati yang sering diucapkan para pejabat kita tentang akan datang resesi?  Padahal, Indonesia sendiri masih tumbuh relatif baik dibandingkan dengan Negara-negara lain, dan hanya kalah dari India dan Vietnam?  Entahlah, coba tanyakan pada rumput yang bergoyang, seperti petikan lirik lagu Ebiet G. Ade.

Namun yang pasti bagi sektor perbankan yang di masa COVID-12 dapat bertahan dengan baik — setidaknya tetap waspada. Rezim suku bunga tinggi akan datang, maka “celengan semar” pun perlu dibuat gendut. Apalagi, Maret tahun 2023 program stimulus restrukturisasi kredit dicabut dan hanya terbatas. Suhu politik juga memanas.”Eling lan waspodo” adalah sikap yang perlu diambil oleh sektor perbankan.

Selamat Tahun Baru 2023.

Related Posts

News Update

Top News