Jakarta – Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah menilai, peralihan dari ekonomi linear ke ekonomi sirkular memang tidak bisa dihindari. Meski demikian, ia menyoroti banyaknya perbedaan dalam pemahaman dan pelaksanaan ekonomi sirkular tersebut.
“Memang peralihan ke ekonomi sirkular diperlukan. Tapi perlu digaris bawahi bahwa interpretasi atau implementasi ekonomi sirkular seperti apa itu yang seringkali berbeda di banyak pihak,” kata Fajri, Kamis, 14 Juli 2022.
Menurutnya, ekonomi sirkular berfokus pada eliminasi potensi timbulan sampah dari hulu, sehingga tidak menjadi masalah di hilir berupa sampah yang sulit dikelola. Ia juga menegaskan sirkular ekonomi tidak hanya sebatas mengubah sampah menjadi uang atau sekedar memusnahkan sampah.
“Ekonomi sirkular ini yang paling utamanya, terlepas potensi ekonominya, seharusnya bisa meminimalkan timbulan sampah di hilir. Sehingga yang sering kali dilupakan soal ekonomi sirkular itu adalah mengeliminasi atau menghapuskan material-material yang memang dalam sistem ekonomi kita pasti akan menjadi sampah. Contohnya plastik sekali pakai yang jenisnya memang sulit didaur-ulang,” ujarnya.
Fajri mengatakan, potensi ekonomi sirkular banyak berasal dari manfaat perlindungan lingkungan. Dalam ekonomi sirkular, beban lingkungan yang muncul dalam ekonomi linear sudah dieliminasi dari awal, sehingga akan meminimalkan timbulan sampah. Di sisi lain, sampah yang muncul dari sistem ekonomi linear membutuhkan banyak biaya untuk pengelolaan. Begitu juga penggunaan material baru dalam ekonomi sirkular dibatasi dan berfokus pada material sirkular sehingga lebih hemat.
“Keuntungannya dari segi pengurangan beban lingkungan karena material-material yang tadinya menjadi beban lingkungan menjadi tidak perlu timbul lagi dalam ekonomi sirkular. Termasuk mungkin tidak perlunya penggunaan material baru di hulu karena sudah menggunakan material sirkular,” tandasnya.
Fajri mengungkapkan, potensi Indonesia dalam penerapan sistem ekonomi sirkular karena faktor produksi dan konsumsi yang terus bertumbuh. Peralihan dari ekonomi linear ke ekonomi sirkular bisa diawali dengan pembuatan regulasi atau peraturan yang mengarah pada ekonomi sirkular.
“Bisa mulai dari pembuatan kebijakan dan peraturan yang mengarah ke ekonomi sirkular, mengeliminasi material-material yang tidak bisa masuk ke material yang sirkular, termasuk membatasi produksi sumber daya tidak terbarukan di hulu misalnya minyak bumi untuk produksi plastik,” ungkapnya.
Meski demikian, ia menekankan pentingnya keseriusan para pemegang kebijakan dan pihak terkait untuk menerapkan ekonomi sirkular tersebut. “Bisa mungkin tapi ya tergantung dari kecepatan pihak yang punya kewenangan dan kekuasaan, utamanya pemerintah, untuk mengubah kondisi ini,” pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memperkirakan ekonomi sirkular dapat memberikan manfaat bagi perekonomian atau PDB Indonesia US$4,5 triliun hingga 2030. Ekonomi sirkular memiliki peranan penting dalam mendukung sustainable goals dengan merancang pengurangan limbah dan polusi dari sistem ekonomi, selain ekonomi biru dan hijau. “Potensi ekonomi sirkular sangat besar,” kata Airlangga Hartarto.
Di Indonesia sendiri, jelasnya, pendekatan sirkular memberikan banyak manfaat. Beberapa diantaranya menghasilkan tambahan PDB ekonomi sebesar Rp593 triliun hingga Rp638 triliun.
Bukan itu saja, ekonomi sirkular juga mengurangi limbah di setiap sektor sebesar 18 hingga 52 persen dan mengurangi emisi CO2 sebesar 126 juta ton, serta penggunaan air sebesar 6,3 miliar meter kubik. Selain itu, juga menciptakan 4,4 juta pekerjaan kumulatif bersih dan menciptakan penghematan rumah tangga tahunan mencapai hampir 9 persen.
Kendati demikian, sampai saat ini hanya 8,6 persen dari ekonomi dunia yang sirkular. Ini, kata dia, menunjukkan bahwa masih banyak hal yang perlu dilakukan. Karena itu, menurutnya sistem ekonomi dengan pendekatan ekonomi biru, hijau dan sirkular sangat diperlukan, meskipun ini memiliki peluang sekaligus tantangan tersendiri.
Airlangga mengajak semua orang untuk menjaga keseimbangan alam baik di darat maupun laut, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. “Kita perlu mengatasi masalah pembiayaan serta memastikan bahwa kebijakan nasional sejalan dengan janji global,” ungkapnya. (*)