Oleh : Eko B. Supriyanto
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) punya keinginan dalam waktu dekat suku bunga perbankan bisa bergerak turun berkisar 4%-6%. Keinginan itu disampaikan Presiden Jokowi ketika menerima pelaku perbankan dan keuangan atas undangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), beberapa waktu lalu, di Istana Negara, Jakarta. Presiden membandingkan suku bunga perbankan di Indonesia masih relatif paling tinggi dibandingkan dengan beberapa negara lain di ASEAN.
Tingginya suku bunga perbankan itu dinilai menghambat ekspansi dunia usaha dalam persaingan global dan tentu pula menghambat pertumbuhan ekonomi. Pendek kata, suku bunga perbankan, khususnya suku bunga kredit, diharapkan bisa turun.
Hal senada juga diungkapkan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Bahkan, Pak JK dalam setiap kesempatan bertemu bankir mengeluhkan soal tingginya suku bunga perbankan. Sepuluh tahun lalu Pak JK juga sudah mengharapkan suku bunga perbankan turun. Mana bisa bersaing jika suku bunga perbankan masih tinggi, demikian Pak JK selalu menekankan penurunan suku bunga.
Pemerintah pun membuat kebijakan subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari yang semula sebesar 22% menjadi 12%, lalu kini 9%. Pemerintah menanggung beban bunga dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kendati ada subsidi suku bunga kredit KUR, toh target Rp30 triliun pada tahun lalu tetap tidak tercapai. Nah, kalau tahun ini dinaikkan menjadi Rp100 triliun, tentu butuh kerja keras yang tidak ringan. Pertanyaan dasarnya, apakah suku bunga kredit menjadi faktor penting dalam mendorong dunia usaha?
Akhirnya Bank Indonesia (BI) jebol juga dalam mempertahankan BI Rate, yang sudah berlangsung lebih dari setahun. Hal itu bisa jadi bukan karena tekanan dari pemerintah, melainkan semata-mata lebih karena untuk menjaga stabilitas rupiah akibat faktor global, terutama suku bunga The Fed yang akhirnya dinaikkan. BI menurunkan BI Rate dari 7,5% menjadi 7,25%.
Benar bahwa biaya dana (cost of fund) perbankan di Indonesia masih yang tertinggi. Tak hanya itu, net interest margin (NIM) perbankan juga masih dinilai yang tertinggi. Penurunan suku bunga kredit masih lamban. Hal itu karena ada leg waktu antara suku bunga dana dan suku bunga kredit. Ada risiko mismatch karena kredit yang disalurkan lebih panjang daripada dana yang diterima. Apalagi, cost of loanable fund masih tinggi, yang terutama masih dipengaruhi oleh cost of fund. Sementara itu, cost of fund yang tinggi karena memang para pemilik dana dan terutama pemilik dana besar seperti BUMN, asuransi dengan unit link-nya, dan perusahaan-perusahaan swasta. Harga belinya sudah tinggi. Harga beli tinggi pun banyak faktornya karena memang target BUMN sendiri atau karena memang inflasi di Indonesia masih relatif tinggi.
Sungguh tak mungkin jika inflasi 5% plus minus satu, suku bunga kredit hanya 4% atau 6%. Jika demikian, maka pemilik dana bukannya tambah kaya, melainkan justru secara riil miskin, belum lagi terkena depresiasi rupiah yang besar dalam setahun terakhir ini.
Ditambah lagi persaingan antarbank sendiri yang sama-sama membutuhkan likuiditas untuk ekspansi. Tak hanya persaingan antara bank BUMN, asing, dan swasta. Bahkan, antarbank BUMN yang satu pemilik pun saling mematikan. Hal ini wajar karena masing-masing bank BUMN harus mengisi kantong APBN dengan setoran dividennya yang besar.
Kebijakan OJK tentang batas atas suku bunga deposito sebesar 200 basis point (2%) dari bunga acuan kepada pemilik dana di atas Rp2 miliar bagi bank dengan modal inti di atas Rp30 triliun setidaknya mengerem perlombaan suku bunga dana. Juga, batas atas suku bunga deposito sebesar 250 basis point bagi pemilik dana untuk bank modal inti Rp5 triliun-Rp30 triliun. Kebijakan ini sepertinya tak seratus persen efektif karena masih saja ada sejumlah bank yang mengenakan suku bunga lebih tinggi daripada ketentuan OJK, terutama bank-bank di BUKU 1, 2, dan BUKU 3.
Bank-bank dipaksa menurunkan suku bunga dan NIM, tapi BUMN-BUMN pemilik dana diminta untuk memproduksikan dana-dananya. Bank-bank BUMN disuruh menurunkan suku bunga dan NIM, tapi di lain sisi diminta untuk mendapat laba besar. Suku bunga diminta turun, tapi inflasi masih relatif tinggi. Banyak faktor yang memengaruhi suku bunga.
Bahwa suku bunga rendah memang dibutuhkan untuk mendorong investasi. Namun, tentu kita bisa melihat kondisi makro dan perekonomian global. Saat ini perekonomian global sedang penuh ketidakpastian dan pertumbuhannya cenderung menurun. Dengan menurunnya perekonomian global, tentu permintaan akan barang pun menjadi menurun.
Perekonomian Tiongkok yang menurun, perekonomian global yang terkoreksi, sementara bank-bank berjaga-jaga akan kebutuhan likuiditas. Penurunan suku bunga kredit menjadi 4% sampai dengan 6% tentu tak akan terjadi dalam tahun ini atau sampai dengan 2019. Permintaan ekspor yang menurun dan perekonomian nasional yang tidak efisien menyebabkan inflasi masih tetap tinggi.
Jujur saja perbankan juga tak nyaman dengan suku bunga tinggi. Sebab, suku bunga tinggi itu penuh risiko kemacetan. Namun, harusnya pula bank-bank melakukan efisiensi operasionalnya. Suku bunga perbankan memang akan turun sedikit pada awal triwulan kedua tahun ini. Namun, mendorong dunia usaha bukan semata-mata karena kredit bank.
Di situ ada perizinan, ada inflasi, ada perekonomian global. Pemerintah harus menciptakan kondisi dunia usaha yang market friendly—bukan saling ngepret sesama menteri di Kabinet Kerja ini. Dunia usaha butuh stimulus bukan semata soal suku bunga, melainkan perekonomian yang efisien dan kepastian hukum serta debirokratisasi. Para bankir juga bertanya, apa kabar paket-paket ekonomi yang sudah dibuat?(*)
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah Infobank.