Bukan Komoditas, Celios Sarankan RI Fokus ke Industri Teknologi

Bukan Komoditas, Celios Sarankan RI Fokus ke Industri Teknologi

Jakarta – Industri manufaktur merupakan sektor penting yang menopang perekonomian suatu negara. Keberadaannya berkontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, inovasi teknologi, serta membuka peluang ekspor yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Dalam beberapa tahun terakhir, industri manufaktur mengalami pertumbuhan pesat. Namun, Center of Economic and Law Studies (Celios) menyoroti bahwa pertumbuhan tersebut belum optimal.

Menurut Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, Indonesia masih terlalu fokus mengembangkan manufaktur berbasis komoditas dibandingkan manufaktur berbasis teknologi. Padahal, sejak 2005, industri manufaktur Indonesia telah berkembang pesat dengan pertumbuhan mencapai 30 persen.

“Sayangnya, ketika (industri manufaktur) sedang maju-majunya, ini adalah industri yang berbasis ekstraktif atau berbasis komoditas. Kalau kita lihat, tidak bergerak pada industri yang sifatnya teknologi,” ujar Huda di acara diskusi media Amar Bank, Kamis, 20 Maret 2025.

Baca juga: Industri Manufaktur Perlu Didorong untuk Pertumbuhan Ekonomi

Huda menilai hal tersebut terlihat dari struktur ekspor Indonesia yang masih didominasi komoditas alam. Data dari Trading Economics menunjukkan bahwa produk ekspor utama Indonesia adalah minyak dan olahannya, dengan pangsa pasar sebesar 23 persen dan nilai ekspor mencapai USD59,5 miliar.

Sementara itu, negara-negara seperti Korea Selatan (Korsel), Taiwan, Malaysia, dan Vietnam telah beralih ke industri teknologi. Dengan demikian, saat era industri digital tiba, mereka dapat menikmati keuntungan dari ekspor produk teknologi

Keunggulan Negara Lain dalam Industri Teknologi

Di Korea Selatan, ekspor alat elektronik berbasis teknologi menjadi sektor terbesar, dengan pangsa pasar mencapai 27 persen dan kapitalisasi sebesar USD171 miliar.

Hal yang sama juga terjadi di Malaysia dan Vietnam, di mana ekspor produk teknologi masing-masing mencapai 37 persen dan 38 persen, dengan kapitalisasi USD121 miliar untuk Malaysia dan USD140 miliar untuk Vietnam.

Baca juga: Celios Beri Rapor Merah Menteri Koperasi Budi Arie, Ekonom: Seharusnya Diapresiasi

Bahkan, Korsel mampu mengembangkan industri jasa, seperti K-Pop dan K-Drama, karena industri manufaktur teknologinya telah stabil. Menurut Huda, kondisi ini berbeda dengan Indonesia yang belum siap menghadapi tantangan industri digital.

“Korsel itu dari industri (manufaktur), berangkat ke jasa. Seperti jasa K-Pop, K-Drama, dan sebagainya. Di negara kita, industri kita belum siap, kita sudah harus ketiban teknologi. Sedangkan, teknologi itu tidak bisa kita hindari,” jelasnya.

Celios Dorong Pengembangan Industri Digital

Dengan target Indonesia yang hendak mengembangkan ekonomi digital, Celios berharap pemerintah membangun industri berbasis digital.

Huda menilai, industri ini memiliki potensi besar sebagai komoditas ekspor ke negara maju seperti Amerika Serikat (AS).

Sebaliknya, Celios kurang sepakat dengan program hilirisasi komoditas seperti sawit atau nikel. Menurut Huda, industri teknologi akan menjadi sektor yang lebih dibutuhkan di era digitalisasi.

“Kenapa Celios itu sangat disagree terhadap pembangunan hilirisasi komoditas seperti nikel dan sebagainya? Karena kami melihat ke depan, bukan ini yang dicari. Yang dicari adalah teknologi,” tegasnya.

Baca juga: Usia dan Gaji jadi Syarat Ambil Pinjol, Celios Wanti-Wanti OJK Lakukan Ini

Sebagai solusi, Celios menekankan pentingnya pengembangan manufaktur di sektor teknologi canggih seperti semikonduktor dan cip.

“Kita harus membangun sesuatu yang bernilai manufakturnya, yaitu dalam industri seperti semikonduktor atau cip,” tutup Huda. (*) Mohammad Adrianto Sukarso

Related Posts

Top News

News Update