Oleh Drs Fathan Subchi, Wakil Ketua Komisi XI DPR
Jakarta -Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) berperan penting dalam perekonomian, baik masa booming maupun krisis seperti saat ini. Maka pemerintah pun sering mengatakan ingin mencari cara bagaimana memperbesar penyaluran kredit kepada UMKM bisa berjalan lebih maksimal. Setelah membuat kredit program KUR dan mewajibkan bank menyalurkan porsi kredit UMKM sebesar 20%, pemerintah mendirikan holding ultra mikro untuk memberikan pembiayaan ke segmen mikro yang 30 juta yang belum pernah mendapatkan dukungan pembiayaan dan lembaga keuangan formal. Pertanyaannya, apakah pemerintah tidak menganggap bank perkreditan rakyat (BPR) tidak bisa memiliki peranan ini?
Padahal, BPR memiliki peran penting dalam memobilisasi dana masyarakat dan membiayai pelaku UMKM. Jauh sebelum bank umum memasuki segmen UMKM dan mengembangkan sistem keagenan (branchless banking), BPR sudah berada di ujung tombak dan berperan meningkatkan inklusi keuangan. Dalam perkembangannya, BPR masih tumbuh solid meskipun pemerintah meluncurkan kredit program yang menyasar segmen pasar BPR dan sekarang menghadapi serbuan pinjaman online yang menawarkan kecepatan proses sebagai keunggulan yang sebelumnya hanya dimiliki BPR.
Tapi, posisi BPR kian menantang. Jika bank umum bermodal besar saja kesulitan menghadapi pandemi COVID-19 sehingga harus diberi stimulus dan relaksasi kebijakan restrukturisasi kredit, apalagi BPR. Maka sudah semestinya pemerintah maupun regulator melihat BPR sebagai industri yang harus dipertahankan dan diselamatkan, agar peranannya dalam meningkatkan inklusi keuangan terus berjalan. Sebab, kendati secara industi masih tumbuh solid, tapi sebagian BPR secara individual banyak yang kesulitan.
Menurut saya, industri BPR harus diselamatkan dan didukung perkembangannya agar bisa terus menjalankan perannya terhadap perekonomian baik dalam penyaluran kredit UMKM maupun penyerapan tenaga kerja. Jangan sampai pemerintah mencari cara baru membiayai pengusaha UMKM namun mengabaikan peran BPR hingga membuat mereka tersingkir. Kalau BPR bermasalah pastinya akan menimbulkan beban baru juga buat pemerintah. Jumlah BPR sekitar 1.600 buah dan jika satu BPR mempekerjakan 30-an pegawai, maka ada 50-an ribu orang yang bisa kehilangan pekerjaan jika BPR tidak mendapatkan dukungan.
Karena peran nyatanya dalam perekonomian dan pertumbuhan kinerjanya yang solid, mestinya BPR bisa menjadi salah satu instrumen pemerintah dalam merealisasikan program-program pembangunan ekonomi seperti pengembangan desa dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang terdampak pandemi COVID-19. Pada 2021, pemerintah menganggarkan dana PEN sebesar Rp900 triliun dan dana desa sebesar Rp72 triliun. Dana tersebut diantaranya untuk membantu kinerja UMKM. Selama sembilan bulan, dana PEN untuk UMKM baru tersalurkan 43% tersalurkan, seharusnya sudah terealisasi 75% agar pertumbuhan ekonomi lebih baik lagi dan membuat masyarakat bertahan di tengah pandemi COVID-19. Tapi mengapa BPR yang memiliki keunggulan kompetitif di segmen UMKM tidak dijadikan mitra untuk membantu penyelamatan BPR?
Sebagai kesimpulan, pemerintah harus mendukung kelangsungan BPR yang sudah berperan nyata dalam perekonomian terutama dalam pembiayaan UMKM. Tentu yang patut menjadi perhatian bagi pemilik dan BPR tentunya bagaimana mereka terus berkomitmen memperkuat permodalan, menegakkan tata kelola, dan adaptif dalam operasional. Begitu juga peran pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjaminan Simpanan, agar lebih terbuka dan tegas dalam pengawasan agar BPR lebih profesional, good governance, dan adaptif dalam mengikuti perkembangan zaman.(*)