Menurut Fran Suharmaji, Direktur Utama PD BPR Bank Bapas 69, seharusnya pemda mengelola dananya di BPR. Karena, dengan begitu, pemda bisa memberdayakan bank miliknya sendiri yang telah mengenal potensi daerahnya. “Hanya, pemberiannya harus proporsional sesuai dengan kemampuan BPR-nya. Pemberiannya juga harus sedikit-sedikit,” jelas Aji, panggilan akrab Fran, kepada Infobank, bulan lalu.
Muhammad Sigit, Direktur Utama PD BPR Bank Sleman, juga memiliki pandangan yang sama. Menurutnya, BPR lebih memahami kebutuhan daerah daripada bank umum ataupun bank pembangunan daerah (BPD). “Nasabah BPR semuanya golongan mikro dan kecil. Jadi, kalau BPR diberi amanah mengelola dana daerah, maka manfaatnya sangat baik bagi masyarakat bawah dan PAD yang lebih besar,” terangnya kepada Infobank.
Namun, tak sembarang BPR dapat diberi amanah itu. Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Tak hanya dari sisi kesehatan BPR, seperti modal, likuiditas, solvabilitas, rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL), tapi juga dari kesiapan BPR dalam mengembangkan usahanya, antara lain kualitas SDM, jaringan, dan infrastruktur TI.
Sebagai contoh, pada 2009 dana APBD Pemerintah Kabupaten Lampung Timur senilai Rp106 miliar dan Lampung Selatan senilai Rp60 miliar yang disimpan di BPR Tripanca tidak dapat ditarik kembali karena BPR Tripanca dilikuidasi. Likuidasi BPR Tripanca ketika itu terkait dengan usaha ekspor-impor kopi yang dijalankan pemiliknya, Sugiharto Wiharja, melalui induk perusahaannya, Tripanca Group, yang terguncang gejolak harga kopi dunia.
Selain itu, BPR berpotensi menjadi seperti BPD yang sudah terlalu nyaman mengandalkan niche market-nya, yakni pegawai pemda. Kondisi demikian bisa jadi membuat BPR kesulitan untuk lebih menggenjot bisnisnya di luar pasar itu.
Saat ini Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah juga menjadi ganjalan bagi BPR untuk menjadi pengelola keuangan daerah. Aturan tersebut menyebutkan bahwa gubernur/bupati/wali kota menunjuk bank umum sesuai dengan kriteria dan persyaratan untuk menyimpan uang daerah yang berasal dari penerimaan daerah dan untuk membiayai pengeluaran daerah. “Regulasi saat ini membatasi seperti itu. Dana pemda yang ditempatkan di BPR hanya boleh modal disetor,” ujar Jhendik Handoko, Direktur Utama PD BPR Jepara Arta, kepada Infobank.
Pada 2009 keputusan Pemerintah Kabupaten Sragen mendepositokan dana APBD di dua BPR miliknya, BPR Djoko Tingkir dan BPR BKK Karangmalang, ditentang kalangan legislatif karena melanggar PP tersebut. Akhirnya, Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Sragen menarik dana tersebut dari BPR.
Kendati demikian, menurut Jhendik, ada kemungkinan kebijakan tersebut berubah melalui PP tentang BUMD yang akan segera terbit. “Setelah keluarnya PP BUMD, akan ada regulasi yang membolehkan pemda menempatkan dananya dalam bentuk deposito ke BPR. Tapi, pastinya, tunggu keluarnya PP BUMD,” ujar Jhendik.
Tak dapat dimungkiri, industri BPR saat ini berada dalam kondisi yang kurang menguntungkan. Beberapa keunggulan BPR yang membuatnya masih bisa mencatatkan pertumbuhan ialah kecepatan dan kemudahannya dalam proses serta kedekatannya dengan nasabah. Hal itu akan menjadi sumber pertumbuhan utama bagi BPR sembari BPR berbenah diri dan menanti dukungan nyata dari pemerintah serta regulator.(*) Happy Fajrian