Jakarta — Bank Perkreditan Rakyat (BPR) berada dalam fase yang tidak mudah, sebagaimana terlihat pada indikator yang ada di industri ini. Misalnya pertumbuhan kredit yang melambat dan NPL yang di atas 5%. Kendati dana pihak ketiga (DPK) tumbuh lebih cepat dari kredit, struktur dana DPR dimana 75% berupa dana mahal maka rentabilitas BPR pun cenderung menurun.
Dengan tantangan tersebut, BPR dituntut untuk bisa melakukan transformasi. Hal tersebut pun ditegaskan Joko Suyanto, Ketua Umum Perbarindo saat menjadi pembicara Seminar berjudul “Revitalisasi Bisnis BPR: Membangun Ekosistem Baru Antara Bank, BPR, dan Fintech” yang dilakukan The Finance, di Jakarta (29/6).
Menurutnya, BPR harus melakukan tiga hal, digital innovation, competition, dan strategic partnership. “Dalam digital transformasi, banyak yang bisa dilakukan BPR, tapi tidak bisa sendiri, tapi dengan berkolaborasi,” ujarnya.
Menurutnya, transformasi digital tidak bisa dilakukan setengah-setengah, tapi harus dilakukan secara bertahap, tersedianya platform, adanya connectivitynya. “Transformasi ini akan memperluas layanan BPR,” tandasnya.
Layanan ini bisa memperkuat posisi BPR di tengah ketatnya kompetisi, seperti hadirnya penyedia financial technology(fintech) yang tidak banyak diatur regulasi sehingga lebih lincah. “Tidak bisa dipungkiri bahwa BPR itu padat karya. Dan karena kita bank, apa iya model bisnis kita adjust. BPR itu regulated, prudent, dan complex. Jadi beda dengan fintech yang bisa lebih ngepet. Mau apa saja bisa,” imbuh Joko.
Joko menambahkan, hal yang penting dalam melalukan transformasi adalah bagaimana berkolaborasi sebagai kunci untuk tumbuh bersama-sama. “Inti dari kolaborasi adalah bagaimana manage service. Kalau investasi itu akan menambah ATMR dan menurunkan CAR, kalau partnership hanya meningkatkan overhead cost, imbasnya kepadaprofit and loss tapi bisa kita balance dengan income yang lebih maksimum,” pungkasnya. (KM)