Jakarta – Memasuki 2016 fenomena penutupan BPR kembali marak. Baru empat bulan berjalan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah menutuo empat bank perkreditan rakyat (BPR) akibat gulung tikar. OJK tercatat telah melikuidasi BPR Dana Niaga Mandiri dari Makassar, Sulawesi Selatan, terhitung mulai 13 April 2016 dan BPR Syariah (BPRS) Al Hidayah, Jawa Timur, terhitung mulai 25 April 2016. Sebelumnya, BPR Mitra Bunda Mandiri dari Sumatra Barat dan BPR Agra Arthaka Mulya dari Yogyakarta yang dilikuidasi OJK, tepatnya pada Januari 2016.
OJK maupun Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tidak memerinci apa yang menjadi penyebab kedua BPR tersebut dilikuidasi. Namun, jika melihat kondisi keuangan dua BPR tersebut pada 2015 terjadi penurunan yang sangat signifikan dibandingkan dengan kondisi setahun sebelumnya. Aset BPR Dana Niaga Mandiri tercatat turun dari Rp26,78 miliar pada 2014 menjadi Rp17,28 miliar. Sama halnya dengan BPRS Al Hidayah, asetnya turun Rp5,71 miliar, dari Rp22,81 miliar menjadi Rp17,10 miliar.
Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Fauzi Ichsan, menjelaskan, untuk pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah kedua BPR tersebut, LPS akan melakukan rekonsiliasi dan verifikasi atas data simpanan dan informasi lainnya untuk menetapkan simpanan yang layak dan tidak layak dibayar.
Fauzy mengakui, ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kinerja keuangan sebuah BPR menjadi bermasalah hingga berujung pada pencabutan izin usaha. Baik OJK maupun Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) menyatakan bahwa kebanyakan BPR yang dicabut izin usahanya bukan karena kalah dalam persaingan, melainkan lebih disebabkan fraud yang dilakukan pengurus BPR. Salah satunya, karena BPR tidak melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG).
“Tidak adanya penerapan GCG dan manajemen risiko membuat banyak BPR melakukan kecurangan atau fraud sehingga banyak BPR yang ditutup operasinya,” ujar Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II OJK, Budi Armanto.
Menurut Ketua Umum Perbarindo, Joko Suyanto, penerapan GCG dan manajemen risiko yang baik tidak hanya menghindarkan BPR dari potensi fraud, tapi juga dapat meningkatkan kinerja keuangan BPR. Penerapan tata kelola penting dilakukan karena risiko dan tantangan yang dihadapi BPR tak hanya berasal dari eksternal, tapi juga internal BPR itu sendiri.
Selain itu, penerapan GCG sangat diperlukan agar perbankan dapat bertahan dan tangguh dalam menghadapi persaingan yang makin ketat serta dapat menerapkan etika bisnis sehingga dapat mewujudkan iklim usaha yang sehat dan transparan.
Penerapan praktik GCG dan manajemen risiko tak sebatas tuntutan regulasi, tapi sudah menjadi kebutuhan yang mendesak terhadap perkembangan BPR pada masa yang akan datang. “Komitmen BPR terhadap penerapan GCG akan menjauhkan BPR dari berbagai masalah yang berisiko tinggi. Tanpa didukung praktik GCG, BPR berpotensi menjadi tidak sehat,” tegas Joko.(*) Happy Fajrian.