BPR Berbasis Digital, Mengapa Tidak?
Page 3

BPR Berbasis Digital, Mengapa Tidak?

Empat, menggeber kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Selama ini, Bank Indonesia (BI) mewajibkan bank nasional untuk menyalurkan kredit UMKM minimal 20% dari kredit produktif (kredit modal kerja dan kredit investasi).

Kewajiban tersebut dapat ditunaikan secara bertahap selama enam tahun. Pada 2013 dan 2014, besaran kredit mikro bebas sesuai dengan kemampuan bank, kemudian semakin besar menjadi minimal 5% pada 2015, 10% pada 2016, 15% pada 2017 dan 20% pada 2018.

Sejatinya, kebijakan itu merupakan tantangan berat bagi BPR. Lho? Karena serbuan bank umum akan makin mendesak BPR dari habitatnya terutama perbankan mikro (micro banking). Dengan bahasa lebih lugas, dari awal tentu saja bank umum akan mulai menggarap kredit UMKM sehingga target 20% pada 2018 bakal tercapai lebih cepat. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau Bank BRI sebagai pemimpin pasar (market leader) di segmen ini pasti akan menggeber pangsa pasarnya (market share).

Sebaliknya, BPR juga akan memperoleh berkah ketika bank umum papan atas lebih memilih tidak terjun langsung atau cukup dengan penerusan kredit (channelling loan) melalui BPR. Pastilah model bisnis tersebut akan memberikan margin yang gurih bagi BPR.

Lima, mulai memanfaatkan teknologi informasi. Sejalan dengan perkembangan dan kemajuan teknologi informasi, Perhimpunan BPR Indonesia (Perbarindo) sudah sepatutnya terus mendorong anggotanya untuk memanfaatkan teknologi informasi. Tentu saja, langkah itu akan meningkatkan nilai tambah produk dan jasa BPR sekaligus untuk memanjakan nasabah.

Apalagi kini tumbuh pesat perusahaan financial technology (fintech) yang bisa menjadi mitra bisnis perbankan termasuk BPR. Perusahaan fintech menawarkan model pinjaman seperti peer to peer lending dan crowdfunding. Peer to peer lending adalah layanan keuangan digital untuk mempertemukan pihak yang membutuhkan pinjaman dan pihak yang memberikan pinjaman. Crowdfunding adalah pembiayaan melalui mekanisme gotong royong atau patungan modal dana untuk investasi.

Dalam waktu dua tahun, fintech sudah berhasil mengelola dana dari 12,05 miliar dolar AS (setara Rp161 triliun dengan kurs Rp13.375 per 1 dolar AS) pada 2015 menjadi 18,64 miliar dolar AS (Rp249 triliun) tahun ini dengan berbagai layanan seperti pembayaran, pendanaan, dan pinjaman antarwarga.

Related Posts

News Update

Top News