Bank perkreditan rakyat bisa menjadi garda depan dalam membuat masyarakat semakin melek keuangan. Bagaimana prospek dan tantangan BPR di tengah persaingan antar-BPR dan ancaman perusahaan financial technology?
Oleh Paul Sutaryono
Jakarta – melangkah lebih jauh, mari kita cermati kinerja bank perkreditan rakyat (BPR). Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang terbit pada 18 Juli 2017 menunjukkan bahwa kredit BPR mampu tumbuh tahunan (year on year) 10,26% dari Rp78,19 triliun per Mei 2016 menjadi Rp86,21 triliun per Mei 2017. Sementara dana pihak ketiga (DPK) tumbuh lebih rendah 9,58% dari Rp85,03 triliun menjadi Rp93,18 triliun. Alhasil, rasio kredit terhadap DPK atau loan to deposit ratio (LDR) mendaki sedikit dari 78,06% menjadi 78,24%.
Laba tahun berjalan mengalami kenaikan 9,02% dari Rp1,22 triliun menjadi Rp1,33 triliun. Laba tahun berjalan per Mei 2017 itu turun jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang naik 21,76% dari Rp2,16 triliun per Mei 2015 menjadi Rp2,63 triliun per Mei 2016. Dengan bahasa lebih bening, ternyata BPR juga menjadi korban perlambatan ekonomi sekarang ini.
Dengan demikian, imbal hasil aset (return on assets/ROA) mengalami sedikit penurunan dari 2,77% menjadi 2,75% di bawah ambang batas 3%. Artinya, kualitas aset menipis. Demikian pula imbal hasil ekuitas (return on equity/ROE) ikut menurun tipis dari 24,96% menjadi 24,40% tetapi jauh di atas ambang batas sekitar 14%.
Tetapi sayangnya, kredit bermasalah (non performing loan/NPL) mengalami kenaikan (memburuk) menjadi 6,95% jauh di atas ambang batas 5%. Suka tak suka, inilah elemen keuangan yang penting dan mendesak untuk diperbaiki oleh BPR pada kesempatan pertama. Itulah rapor BPR per Mei 2017 seperti tampak pada tabel di bawah ini.