Oleh: Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank
DESAS-desus kembali muncul. Rumor. Api itu “dinyalakan” oleh Agung Firman Sampurna, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kali ini, kata Ketua BPK, ada 7 bank yang tidak diawasi dengan baik oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun pernyataan Agung Firman Sampurna dinilai terlalu lebay dalam situasi rawan “krisis” akibat Covid-19. Selain lebay, atau berlebihan. Salah-salah bisa memicu penarikan dana di bank-bank yang disebut.
Padahal, semua pihak setidaknya harus menjaga agar tidak celometan dalam memberi komentar “miring” mengenai bank. Jangan sampai penyataan disalah persepsikan oleh public. Adalah hak BPK untuk mengumumkan hasil itu, namun harusnya tidak memberi highlight nama 7 bank yang bisa menimbulkan persepsi yang berbeda di masyarakat. Apalagi, hasil audit itu tidak terjadi pada tahun 2020. Past performance yang situasi dan kondisinya berubah.
Sebuah bank berbeda dengan rumah sakit, atau perusahaan di sektor riil. Atau, kantor Pemda. Kepanikan pada satu bank akan menimbulkan kepanikan pada bank lain. Pertanyaan yang selalu muncul, bank-bank mana lagi? Tapi, menurut pengalaman krisis 1998 dan 2008, selalu ada yang namanya fligt to quality, dana berpindah ke tempat yang dinilai lebih aman.
Agung Firman Sampurna, pada awal minggu ini pun masih tetap merasa tidak salah atas penyebutkan 7 nama bank, dan cenderung bertahan.”Pemeriksaan yang kami lakukan terhadap OJK, tidak membatasi wewenang kami untuk mengungkat hasil kepada publik. Kami mengerti bagaimana cara menyampaikan hal-hal yang penting kepada public, dan tidak usah dipersoalkan dengan siapa pun,” kata Agung dalam konferensi video, Senin (11/5/2020).
Pernyataan itu tidak salah. Namun dinilai, mengungkapkan nama-nama bank dalam pemeriksaan OJK, terlalu berlebihan dan tidak ada manfaatnya bagi industri perbankan. Apalagi, situasi sedang siap-siap menghadapi krisis keuangan, dimana bank menjadi jantung perekonomian, pernyataan ketua BPK itu kurang mendukung kestabilan sektor perbankan. Justru bisa menimbulkan efek buruk bagi industri perbankan.
Jadi bisa menimbulkan persepsi buruk bagi bank-bank yang disebut. Padahal, jika benar, situasinya juga sudah berubah karena pemeriksaan dilakukan di tahun 2019, dan bahkan ada temuan tahun 2017 yang sudah ditindaklanjuti. Ada tujuh bank yang dikaitkan dengan temuan OJK itu, seperti Bank Muamalat, Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Banten, Bank Papua, Bank Mayapada, Bank Yudha Bhakti dan Bank Bukopin. Dengan kadar, masalah yang berbeda. Dan, diakui sendiri oleh Ketua BPK, ada beberapa bank yang sudah menindak lanjuti,” “Kepada kami sebenarnya sudah ada surat yang menyatakan bahwa sebagian dari temuan-temuan tersebut sudah ditindaklanjuti khususnya di beberapa bank seperti Bukopin, mungkin BTN dan lain-lain sebagainya. Jadi sudah ada progres, dan memang akan kami pantau karena pemantauan tindak lanjut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam siklus pemeriksaan kami,” kata Agung Firman Sampurna kepada media di Jakarta, (Senin/11/5/2020)
Jadi, sebenarnya secara substansi sudah ditindaklanjuti oleh bank-bank bersangkutan. Pada semester II tahun 2019, BPK telah menyelesaikan laporan hasil pemeriksaan atas pelaksanaan pengawasan bank umum tahun 2017-2019 pada OJK dan instasi terkait. Untuk bab pemeriksaan pengawasan bank umum tertuang di halaman 284 sampai 288. Ikhtiar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2019 tersebut merupakan ikhtisar dari 488 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan badan lainnya.
Tidak Memproduksi Rumor
Tulisan ini tidak membahas substansi temuan BPK mengenai pemeriksaan bank umum tahun 2017-2019. Boleh jadi ada benarnya temuan BPK, tapi bisa jadi juga tidak menggambarkan keseluruhan pengawasan bank yang jumlahnya 112 bank. Harus lebih jernih melihatnya. Tulisan ini lebih ditekankan pada efek samping pernyataan ketua BPK yang mengaitkan nama-nama bank dengan audit OJK.
Lalu kenapa nama-nama tujuh bank itu yang muncul ke permukaan, dan tidak hasil audit, misalnya tidak mengenai Program Pensiun PNS, TNI, Polri yang belum transparan dan akuntabel? Atau, tentang hasil pemeriksaan pemerintah daerah. Tapi, ya sudahlah bisa jadi soal bank ini yang paling penting. Kembali pada efek pengungkapan nama-nama bank ke publik menyisakan kegelisahaan tersendiri, meski kondisi bank-bank yang disebut BPK itu sudah berbeda dari temuan BPK antara tahun 2017-2019.
Bisa jadi bank-bank itu tidak seperti yang digambarkan dari temuan BPK. Persepsi public inilah yang harus dijaga, karena begitu BPK mengumumkan ketujuh bank tersebut terkait pengawasan OJK, sontak industri perbankan seperti tersulut api. Bisik-bisik pun muncul ke grup-grup WhatsApp. Para direksi bank yang disebut sibuk menjawab pertanyaan nasabah, dan juga media.
Situasi sekarang ini, perekonomian sedang menurun. Pertumbuhan ekonomi Kuartal I tahun 2020 merosot menjadi 2,97 persen. Kredit-kredit sedang dilakukan restrukturisasi. Menurut Infobank Institute, jumlah kredit UMKM yang berpotensi di restrukturisasi mencapai Rp400-500 triliun. Jadi, situasi perbankan hari-hari ini sensitive, baik terhadap likuiditas maupun kualitas kredit.
Krisis kali ini berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya. Namun yang namanya perilaku pemilik uang tetap sama. Air mengalir ke tempat yang lebih rendah. Nasabah memilih bank dengan risiko lebih kecil. Hukum itu berlangsung ketika krisis 1997/1998 lalu, dan tahun 2008. Hal ini, bukan tak mungkin bisa terulang di tahun 2020 jika tidak menjaga suasana confidence di industri perbankan. Situasi memang belum krisis, tapi krisis bisa dipicu dari sini.
Lihat saja beberapa waktu lalu, begitu media menulis hasil rapat dengar pendapat dengan DPR RI, mencuat hasil stress test tentang potensi 4 bank yang gagal. Hal itu terkait ketika DPR menanyakan secara tertulis dengan jawaban tertulis, namun tiba-tiba mencuat ada 4 bank yang masuk pengawasan intensif. Bagi publik pengawasan intensif sudah diterjemahkan macam-macam. Pihak OJK sendiri pun sempat bocor hasil stress test nya yang kemudian dinyatakan oleh OJK sebagai Hoax.
Bahkan, sebelum itu, ketika pejabat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) membuat stress test tentang kekuatan LPS dalam menanggung beban premi. Begitu media online memuat, lalu diviralkan kemana-mana, menjadi sangat mengerikan bagi bank-bank, seolah-olah ada 8 bank yang mau roboh. Padahal, LPS hendak mau mengatakan bahwa kekuatan LPS hanya sebatas dana yang dimiliki Rp120 triliun sampai Rp128 triliun.
Meski sudah ada penjaminan simpanan dari LPS, tetap saja nasabah gelisah jika ada kabar bank ditutup. Apalagi, yang dijamin oleh LPS hanya Rp2 miliar ke bawah. Jadi, nasabah-nasabah kelas Rp2 miliar ke atas yang makin berisik bertanya, meski yang nasabah di bawah Rp2 miliar juga berlomba bertanya, mendapatkan jawaban untuk dishare ke temen atau tetangganya. Efeknya, pertanyaan berikutnya muncul; bank mana saja? Apakah akan disusul dengan bank lain? Heboh. Antar bank saling curiga. Rumor beredar.
Kembali teringat, tahun 1997. Waktu itu, pemerintah yakin dan seyakin-yakinnya. Atas, saran IMF menutup 16 bank kecil. Mar’ie Muhammad (waktu itu Menkeu) yakin apalagi dibisikin dari 16 bank itu sebagian besar milik kroni Soeharto. Jadi, tanpa ragu ditutuplah 16 bank itu di 31 Oktober 1997.
Hasilnya, ambyar. Sejak itu 100 bank gugur karena salah dosis. IMF lupa, waktu itu belum ada program penjaminan dana nasabah. Bank sekecil apa pun ketika ditutup selalu berdampak sistemik atau efek domino. Ada saling keterkaitan antar bank. Dan, ada banyak pertanyaan; bank kecil aja tutup, jadi bank kecil lainnya ikut di rush. Lalu, kalau ada bank besar tutup; bank sebesar itu saja ditutup, apalagi bank yang lebih kecil.
Dosa IMF terbesar di Indonesia karena salah dosis. Akibatnya, Indonesia harus menanggung beban penyehatan bank sebesar Rp644 triliun. Beban itu masuk ke APBN, hingga sampai sekarang beban itu masih ada. Jangan sampai pengalaman hitam itu kembali terulang hanya karena kita celometan dalam memberi komentar soal bank di saat krisis. Psikologis nasabah harus dijaga. Bank sekecil apa pun yang jatuh akan menimbulkan luka bagi kepercayaan nasabah, kecuali ada penjaminan 100 persen.
Intinya, efek domino selalu ada ketika sedang krisis. Itulah yang harus dijaga oleh semua pihak, baik LPS, BI, OJK, Kemenkeu dan DPR RI. Juga, BPK atau pun pengamat. Mereka setidaknya tidak “memproduksi” rumor.Tidak bisa asal celometan bicara dengan alasan apa pun. Semua pihak harus menjadi psikologis nasabah, jangan sampai terjadi rush. Saling tidak percaya, maka jika hal itu terjadi maka akan seperti teori domino, roboh satu mengajak roboh lainnya.
Tanpa harus mencari kesalahan, sudah waktunya ke depan kita semua saling membantu antar lembaga. Jangan sampai Covid-19 ini menyerang bank lebih cepat hanya karena “kebanyakan komentar” yang tidak jelas. Hanya pingin gagah di media dan jujur, meski bahaya komentar itu sendiri akan menimbulkan efek bola salju.
Persoalan fligft to quality ini sedang menunggu momentum untuk bergerak. Siklus krisis Covid-19, krisis keuangan, krisis sosial dan terakhir krisis politik. Kita semua harus menjaga agar tidak sampai masuk ke krisis keuangan. Jika toh harus kena, tapi tidak seperti menghancurkan seperti tahun 1998 lalu.
Untuk itu, penyebutan nama-nama 7 bank oleh Agung Firman Sampurna, Ketua BPK, meski itu dibenarkan karena kewenangan BPK. Tapi, menyebut ke-7 bank dalam situasi yang rawan ini dinilai lebay, dan terkesan tendensius. Bahkan, justru, kehilangan substansinya. Sudah waktunya pula, kita semua punya sense of crisis. (*)