Jakarta – Bank Indonesia (BI) menilai ketidakpastian ekonomi global kembali meningkat pascapengumuman kenaikan tarif efektif resiprokal Amerika Serikat (AS) ke beberapa negara maju dan berkembang.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, kebijakan tarif resiprokal Presiden Donald Trump yang direncanakan berlaku mulai 1 Agustus 2025 diprakirakan akan memperlemah prospek pertumbuhan ekonomi dunia, khususnya di negara maju.
“Pertumbuhan ekonomi di AS, Eropa, dan Jepang dalam tren menurun di tengah ditempuhnya kebijakan fiskal ekspansif dan pelonggaran kebijakan moneter di negara tersebut,” ucap Perry dalam konferensi pers RDG, Rabu, 16 Juli 2025.
Baca juga: Bos BI Beberkan Dampak Positif dari Hasil Negosiasi Tarif Trump
Lanjutnya, kinerja ekonomi Tiongkok juga diprakirakan belum kuat, di tengah berbagai strategi diversifikasi ekspor. Sementara itu, kinerja perekonomian India diprakirakan tetap baik didukung permintaan domestik.
“BI memprakirakan pertumbuhan ekonomi dunia 2025 masih belum kuat sekitar 3,0 persen,” tambahnya,
Selain itu, tekanan inflasi AS masih menurun sehingga mendorong tetap kuatnya ekspektasi arah penurunan Fed Funds Rate (FFR) ke depan.
Sementara, pergeseran aliran modal keluar dari AS ke Eropa dan negara berkembang, serta komoditas yang dianggap aman seperti emas, terus berlanjut sejalan dengan meningkatnya risiko ekonomi AS, termasuk risiko fiskal.
Baca juga: Tarif Impor AS Turun Jadi 19 Persen, Istana Sebut Hasil Negosiasi Prabowo dan Trump
“Perkembangan ini mendorong berlanjutnya pelemahan indeks mata uang dolar AS terhadap mata uang negara maju (DXY) dan negara berkembang (ADXY),” ungkap Perry.
Ke depan, Perry menilai bahwa kewaspadaan dan respons, serta koordinasi kebijakan yang lebih kuat diperlukan guna memitigasi ketidakpastian perekonomian dan pasar keuangan global yang masih tinggi.
“Serta menjaga ketahanan eksternal, menjaga stabilitas, dan mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri,” imbuhnya. (*)
Editor: Galih Pratama









