Jakarta – Bank Indonesia (BI) terus menyoroti dan memerangi masalah ekspektasi inflasi yang dibentuk oleh masyarakat akibat kenaikan harga-harga komoditas, yang diperkirakan akan mencapai 7% hingga akhir tahun 2022.
“Yang kami takutkan adalah ekspektasi inflasi yang dibentuk oleh masyarakat. Besok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan ekpektasi paling bahaya kalau tidak kita atasi secara cepat, karena inflasi yang sifatnya hanya temporer biasanya karena masalah cabe berkurang harga cabai naik kalau kita tidak atasi segera itu akan membentuk ekspektasi harga akan naik terus,” ujar Dody Budi Waluyo Deputi Gubernur Bank Indonesia, Senin, 31 Oktober 2022.
Kemudian, BI bersama Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah berkomitmen untuk mengatasi inflasi, dengan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) salah satunya yaitu melakukan operasi pasar menggunakan dana Belanja Tidak Terduga (BTT) dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
“Saya dari satu daerah ke daerah lain selalu permasalahannya adalah serapan dari APBD dari belanja tidak terduga yang alokasi 2% dari APBD itu masih sangat rendah, padahal Bapak Presiden dalam komunikasinya mengatakan, gunakan itu sudah selesai dengan permasalahan legalnya aman bagi pimpinan daerah untuk meng-absorb dana tersebut untuk keperluan permasalahan operasi pasar,” jelasnya.
Lebih lanjut, Dody mengatakan, BI mensurvei bahwa tingkat inflasi yang di bulan September mencapai 5,95% akan menurun di Oktober yaitu diperkirakan 5,8% dan inflasi pangan yang sebesar 11,9% turun dibawah 10%.
“Jadi terjadi deflasi untuk pangan, dan itu saya yakinkan bahwa itu juga berasal dari semua upaya yang dilakukan oleh bapak ibu semua khususnya dari gerakan nasional pengendalian inflasi pangan. Namun, risiko inflasi belum berhenti,” kata Dody. (*) Irawati.