Jakarta – Bank Indonesia (BI) mengaku terus memperhatikan laju utang luar negeri (ULN) korporasi nonbank. Menurut bank sentral, utang luar negeri korporasi nonbank harus dimitigasi risikonya dengan baik dan penuh kehati-hatian.
BI menyoroti masih banyaknya korporasi nonbank yang belum melapor kepada BI mengenai penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negerinya. Pasalnya, baru ada 2.557 dari 2.700 korporasi yang sudah melapor ke BI.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengingatkan, agar perusahaan atau korporasi nonbank dapat menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan ULN. Di sisi lain, BI juga sudah mengeluarkan aturan tentang prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan ULN korporasi nonbank.
Dalam aturan tersebut, BI mewajibkan korporasi untuk melaporkan penerapan prinsip kehati-hatian yaitu pemenuhan rasio lindung nilai (hedging) minimal 25 persen dari terhadap selisih negatif antara aset dan kewajiban valas. Selain itu, rasio likuiditas minimal 70 persen dari ULN yang akan jatuh tempo sampai dengan tiga bulan ke depan. Terakhir, peringkat utang minimal harus BB-.
“Kamis sudah keluarkan aturan prinsip kehati-hatian bagi perusahaan atau korporasi nonbank kususnya dalam melakukan utang ke luar negeri. Jadi ini berlaku bagi korporasi nonbank, mereka perlu mengetahui prinsip kehati-hatian yang meliputi 3 aspek itu,” ujarnya di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu, 5 Juli 2017.
BI mengklaim utang luar negeri swasta menyusut pasca terbitnya peraturan tentang prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi nonbank. Kendati begitu, kata dia, BI terus melakukan pemantauan terhadap pengelolaan utang luar negeri yang dilakukan oleh korporasi nonbank.
Adapun posisi ULN sektor swasta di kuartal I 2017 tercatat US$159,9 miliar (49 persen dari total ULN). Dengan perkembangan ini, rasio ULN Indonesia terhadap PDB pada akhir kuartal I 2017 tercatat relatif stabil di kisaran 34 persen dan menurun jika dibandingkan dengan kuartal I 2016 yang sebesar 37 persen.
“ULN merupakan gabungan dari pemerintah dan swasta. BI berterimakasih atas perhatiannya. Kami sudah mengeluarkan aturan untuk menjaga kesehatan dari sektor swasta. Kami akan memantau hasilnya, sehingga Kemenkeu akan tahu utang swasta setiap saat,” ucapnya.
Sementara terkait dengan korporasi nonbank yang belum melapor kepada BI mengenai penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negerinya, BI akan mengenakan sanksi berupa denda maksimal Rp10 juta bila korporasi yang dimaksud tak juga melapor hingga batas waktu yang ditetapkan.
Ketentuan mengenai denda tersebut sudah diatur dalam Surat Edaran (SE) Nomor/17/3/Dsta mengenai pelaporan kegiatan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi nonbank
Dalam SE tersebut juga disebutkan, korporasi yang terlambat menyampaikan laporan akan dikenakan sanksi Rp500 ribu per hari. Denda maksimalnya sebesar Rp5 juta. Sedangkan bagi korporasi yang hingga akhir masa keterlambatan belum juga menyertakan laporan, akan dikenakan denda Rp10 juta.
Menurut Bank Sentral, salah satu tujuan pelaporan utang luar negeri tersebut adalah untuk memastikan perusahaan tidak terkena dampak kerugian akibat selisih kurs. (*)